Langsung ke konten utama

Resolusi Yang terpenting



Punya usaha sendiri. Kedengarannya hebat. Tiba-tiba saja aku berpikir seperti itu saat membaca satu buku mengenai wiraswasta. “Mungkin gak ya?” Selagi bergumam, sahabatku yang terkenal selengean di sekolah, mengagetkanku dari belakang. “Hey, Fira! Kenapa bengong? Baca apaan sih?” Aku terlonjak dan langsung pasang raut muka kusut. “Aduh Dino! Bisa gak kalem sedikit aja? Ini lagi mikir tau!” Sepertinya dia tahu aku sedang kesal, kebiasaannya adalah merebut apapun yang sedang ada di tangan orang, termasuk aku. “Ampun deh sahabat gue yang satu ini, lo baca buku pengusaha sukses? Dari 2 tahun yang lalu? Resolusi lo apa selama ini?” Dino semakin menjengkelkan dengan melontarkan pertanyaan seperti itu. “Din, lo tuh sahabat gue,” kataku lirih. Saking kesal dengan perkataannya, aku malah berubah menjadi sedih. Entah karena memang aku menyukai pekerjaan itu, atau aku memang bermimpi menjadi pengusaha.
          Kehidupan SMA memang tidak seluruhnya menyenangkan. Dino yang telah minta maaf karena perbuatannya kemarin, sekarang menghampiri mejaku lagi. “Eh Fir, kan gue udah minta maaf, lo cerita deh sekarang sama gue.” Aku sebenarnya tidak marah sama sekali sama sahabatku yang satu ini. Waktu pertama masuk SMA dan tahu Dino, aku sangat ingin memberi dia pelajaran karena sifat dia yang selengean itu udah keterlaluan. Dia pernah memotong penjelasan guru karena menurutnya, penjelasan guru kami itu salah, dan Dino menyampaikannya dengan etika yang tidak baik. Tapi lama kelamaan, aku tahu bahwa selengean dia adalah memang sifatnya dari kecil dan dia adalah anak yang pintar. Takdir mengiyakan kami sekelas hingga kelas 12 dan aku menemukan suatu yang positif di dalam dirinya. Aku baru mengerti bahwa dia adalah penasihat yang baik, dia pernah menasihatiku waktu masih duduk di kelas 10, masalahnya sama, tentang mimpiku untuk berwirausaha. Sejak itu kami bersahabat dan kami membuka cerita hidup kami masing-masing.
          “Eh iya Din! Gue mau minta nasihat lo. Menurut lo, pas kita lulus nanti, usaha apa yang cocok buat pemula kayak gue?” kataku menjawab pertanyaan Dino. “Kenapa harus nunggu lulus? Masih 6 bulan lagi dan lo baru mulai saat itu? Kalo hidup lo tinggal 5 bulan lagi gimana?” Ini dia! Aku selalu dibuat berpikir olehnya, sekali lagi, Dino memang selengean, tapi sekalinya ngobrol sama dia itu seperti bicara sama orang penting. “Ya gimana? Gue bingung, berarti gue mulai usaha dari sekarang, gitu?” jawabku sekenanya. “Tau gak resolusi? Menurut gue, kalo lo mau jadi pengusaha besar, lo juga musti usaha yang tidak sedikit. Banyak bukti bahwa ‘orang besar’ itu semasa hidupnya punya dream book dan mereka membuat resolusi di setiap usia mereka.” Dino benar-benar membuatku tercengang. Tiba-tiba saja aku melontarkan pertanyaan yang baru kusadari, kenapa aku baru menanyakan ini. “Mimpi lo apa sih, Din?” Dino yang baru bisa bernapas setelah bicara panjang lebar, langsung terhenti lagi, sepertinya kaget. Dino langsung berubah menjadi dingin dan menjawab, “Lo ikut ke rumah gue pulang sekolah.”
          Sebelumnya aku pernah ke rumah Dino, hanya dua kali, dan itu mengerjakan tugas kelompok. Selebihnya, kami ngobrol di sekolah atau pergi ke suatu tempat. Bukannya aku tidak mau ke rumahnya, hanya saja Dino selalu punya referensi tempat bagus ketika kami ingin ngobrol, pokoknya jangan di rumahnya. Tapi hari ini dia malah mengajakku ke rumahnya, aneh. Ruangan paling terisolasi dan dilarang masuk olehnya adalah kamar tidurnya. Sudah 2 tahun bersahabat, sampai sekarang aku belum pernah masuk kamarnya. Aku pernah berpikir, “Ah kamar cowok. Ngapain sih sok-sok gak boleh masuk? Gue tau itu berantakan pasti.”  Tapi saat ini, aku berada tepat di depan pintu kamarnya. “Yuk, masuk,” kata Dino.
          Terkejut aku dibuatnya. Bersih, rapi, dan wangi adalah deskripsi pikiranku saat ini untuk sebuah kamar yang dihuni makhluk bernama Dino. “Ini beneran kamar lo?” Dengan mulut masih terbuka, aku menyentuh satu per satu benda di kamarnya. “Iyalah Fir, masa kamar pembantu gue.” Tiba-tiba aku terkesiap lagi! Ternyata dindingnya penuh. Kertas catatan Fisika, brosur sebuah universitas ternama, gambar-gambar pesawat terbang yang entah karya siapa, dan yang paling membuatku merinding adalah tulisan besar di atas karton, di tengah-tengah gerombolan kertas yang memenuhi dindingnya bertuliskan “MIMPI GUE TINGGI, RESOLUSI GUE HARUS TINGGI.”
Dino menyilangkan kedua tangannya dan berkata, “Fir, ini mimpi gue dari SMP dan gue merasa belum bisa membuat suatu resolusi tinggi seperti tulisan gue itu.” Entah mengapa, aku berlinang air mata. Dino yang selengean ternyata punya mimpi yang tidak sembarangan. Aku yang sudah menyatakan mimpiku sejak awal merasa kalah karena belum membuat suatu target apapun. Dino yang belum pernah membuka cerita mimpinya ternyata sedang berusaha, ingin membuat semua orang tercengang ketika dia sukses nanti. “Din, lo kenapa gak pernah cerita sama gue?” Dino yang masih mengamati dindingnya seakan tahu akan mencapai semuanya, akhirnya menghadapku dan tersenyum sambil berkata, “Gue gak mau ini jadi bahan pembicaraan orang, Fir. Lebih baik gue buktiin dulu bahwa emang minat gue di bidang ini dan gue akan sukses. Toh, tanpa gue kasihtau, orang akan tau saat gue sukses.” Dia tertawa, menghela napas panjang dan melanjutkan, “Jadi gimana? Masih mau nunggu 6 bulan lagi? Gue ini sahabat lo, Fir.” Dia tersenyum dan tatapannya seakan mengatakan, “Kalo gue nanti sukses, sahabat gue yang satu ini juga harus sukses.”  Aku hanya bisa balas tersenyum dan menyadari bahwa sebuah mimpi tanpa suatu resolusi, adalah benar-benar hanya mimpi.

By: Faadhila Ramadhanti Mustikadewi
#ngabubuwrite

Komentar

Postingan populer dari blog ini

99 Cahaya di Langit Eropa Part 1 (Film)

Setelah baca novel karya Hanum Rais setahun yang lalu, akhirnya film itu muncul. 99 Cahaya di Langit Eropa akhirnya dijadikan film! Seneng banget lah dan hari pertama main, langsung pengen nonton, tapi baru kesampean kemarin, 8 Desember 2013 bareng temen-temen XI IPA 2 :D Gue mau review film 99 Cahaya di Langit Eropa ya, mohon maaf yang belum nonton, diliat dulu review-nya juga boleh hehe.             Hanum yang ikut dengan suaminya, Rangga--yang melanjutkan studinya di Wina--sempat merasa bosan. Hanum ingin pulang ke Indonesia, tetapi lambat laun, dengan orang dan lingkungan yang baru dikenalnya, seketika Hanum jatuh cinta terhadap Eropa! Semua berawal dari Hanum mengikuti kursus Bahasa Jerman. Dia bertemu seorang wanita berhijab yang ternyata bernama Fatma Pasha. Singkat cerita, Hanum banyak belajar dari seorang Fatma. Pelajaran paling berharga, yang membuat Hanum jatuh cinta terhadap Eropa adalah, ternyata banyak sekali rah...

Gelak Tawa dari Beragam Budaya

Viva La Komtung, kawan! Bahagia banget sih ada kontes blog review SUCI 5, jadi gue bisa memaparkan betapa sukanya gue dengan Stand Up Comedy ini. Awal gue suka sama SUCI itu tahun 2011 akhir, dimana SUCI 1 berlangsung, dan entah bagaimana gue langsung jatuh cinta sama SUCI. Gue ikutin terus acara Stand Up Comedy, entah acara tapping atau festival. Nah, yang paling ditunggu, ya, acara SUCI di KompasTV ini. Enggak kerasa, sekarang Season 5 udah kelar, dan enggak nyangka juga, cinta gue terhadap SUCI masih sama seperti 3,5 tahun lalu.             Percaya atau enggak, gue mencatat urutan-urutan komika yang tampil dari episode pertama sampai akhir. Ini gue awali dengan urutan di episode pertama, ya. Dan inilah komika-komika hebat yang bisa masuk ke tahap Show: 1.        Muhamad Tomi (TOMY) 2.        Ichsan Danny (BAIM) 3.        Indra...

Patah Hati dan Koala Kumal

Hari ini, satu lagi film Indonesia sekaligus karya penulis ternama, Raditya Dika, sudah saya tonton, walaupun nonton sendiri haha. Judulnya Koala Kumal. Bukunya sudah terlebih dahulu aku baca. Menurut pengalaman, film yang diadaptasi dari buku biasanya tidak lebih bagus dari bukunya. Tapi, film Raditya Dika ini bisa sesuai dengan bukunya dan tidak terlalu mengecewakan. Ini juga dikarenakan penulis, sutradara, dan aktor diperankan oleh Dika sendiri. Penulisan buku Dika yang satu ini rapi dan lebih serius dari buku-buku dia sebelumnya hehe. Alurnya sudah tidak asing dan mungkin juga banyak dialami oleh masyarakat. Tentang patah hati. Aku tidak akan membocorkan ceritanya di sini, jika memang kalian belum membaca buku sekaligus menonton filmnya. Pemainnya terarah dengan baik sehingga feel nya dapet dan penonton bisa ikut merasakan bagaimana saat menjadi Andrea, Dika, Trisna, maupun James.  Film ini. Kata-kata di film ini. Semua mengingatkanku lagi dengan masalah-m...