Langsung ke konten utama

Postingan

UMKM Mampu Bertahan Gak, Sih?

Kenapa ya masih percaya aja bisnis gue bakalan bisa berkembang walaupun harus capek mengumpulkan receh demi receh setiap harinya? Tulisan ini akan lebih banyak bahas pengalaman gue dan hasil pengamatan gue terhadap pelaku UMKM. Sebenernya udah lama mau nulis, tapi trigger datang dari hasil gue scroll Twitter kemarin. Tertampar untuk kesekian kali saat baca tangkapan layar ( screenshot ) yang berisi curhatan Owner Men's Republic (Yasa Singgih) di Twitter. Pertanyaan yang ini loh yang bikin gue ikut merenung: "Am I born to be an entrepreneur?" Wah, jawabannya apa tuh? Hahaha bikin sakit perut bacanya. Gue sempat baca tulisan Yasa (walaupun belum pernah punya bukunya) dan jujur memang menginspirasi kok kisahnya dalam berbisnis. Terlepas dari masalah yang dialaminya--dan memang semua pengusaha akan selalu berdekatan dengan tumpukan masalah--gue sebenarnya berharap brand lokal tidak redup di masa new normal ini, termasuk MR.  Kenapa emang? The strongest reason  saat ini di
Postingan terbaru

Bincang Perekat Rindu

Tulisan ini mungkin akan sedikit menguras emosi karena otak sedang dipenuhi dengan momen obrolan bersama orang-orang yang gue hargai dan syukuri ada di dalam hidup gue saat ini. Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 28 Maret 2021, setelah satu tahun lebih empat bulan tidak bertemu, akhirnya gue masih diberi kesempatan untuk berbincang dengan ketiga sahabat gue. Sedikit mundur ke masa-masa dulu pertama ketemu mereka, gue masih sulit percaya dan selalu mengucap syukur berkali-kali saat tahu mereka bisa menjadi salah tiga orang yang bertahan di dekat gue sampai saat ini. Mulai dari yang paling terlama dulu kali, ya. Faradila a.k.a Dela adalah teman gue sejak SD. Kita mulai deket itu kelas 5 karena kita sekelas, duduk sebangku, sampai wali kelas kita minta kita untuk pisah tempat duduk karena nama kita yang hampir sama. Lucu gak sih? Ternyata pertemanan kita terus terjalin (tanpa kita sadari) karena kita masuk SMP dan SMA yang sama. Duh, gimana bisa gitu del? Beralih dulu ke Azkia.

#ReadMood Mendaki Tangga Yang Salah : Chapter 1

Apa yang aku pikirkan setelah membaca Bab 1 ini adalah, “Sepertinya ada persamaan antara pembaca dan bahan yang dibaca.” Boleh kalian katakan aku adalah orang paling sombong, tapi ini kenyataan. Sejak TK, bahkan Playgroup hingga SMP Kelas 1, aku selalu menduduki peringkat 3 teratas di kelas. Kebanggaan itu mungkin terasa di awal, tetapi sedikit demi sedikit menghilang karena hal itu sudah menjadi kebiasaan di tahun berikutnya. Tidak ada yang spesial. Guru-guru memuji seperti biasa pada saat pembagian rapor. Bagiku, saat itu pelajaran tidak ada yang terlalu rumit, terlebih orangtua mendaftarkanku bermacam les dari akademik hingga non-akademik: sempoa, keyboard/piano, bahasa asing, menggambar, mengaji, kumon, menari, dan berenang. Lalu, aku menjadi Siswa Berprestasi di sekolah, mengikuti berbagai perlombaan, dan mendapat penghargaan. Jiwa kompetitif itu terbentuk. Menurut buku ini, aku termasuk orang yang ‘tersaring’. ‘Tersaring’ memiliki arti bahwa kompetensiku sudah

i.m.p.r.e.s.i #1

Aku lupa hari itu. Hari yang menjadi takdir pertemuan pertama kami. Aku maupun dia adalah dua insan dengan tujuan yang berbeda. Jangankan soal tujuan, kondisi kami pun berbeda sejak awal. Entah suasana apa yang menjadi teman hati kami kala itu, tetapi aku sangat percaya bahwa setiap kita akan memiliki impresi singkat saat bertemu seseorang. Tidak terkecuali aku terhadapnya, juga dia terhadapku. Banyak sekali pemahaman mengenai impresi. Sebuah pemikiran yang muncul pertama kali saat bertemu seseorang atau menemukan sesuatu. Katanya, impresi pertama begitu penting dan bermakna. Katanya, baik-baiklah saat bertemu orang pertama kali. Apakah pemikiran itu benar? Untuk apa menjadi baik jika hanya di awal? Bagaimana kalau aku tidak menyukai orang itu atau benda itu? Lalu, setelah menjadi baik di awal, apakah aku boleh menyatakan ketidaksukaanku terhadap hal itu? Aku tidak begitu yakin dengan pemikiran itu. Tak ada yang benar-benar menarik perhatianku saat itu. Sosok yang tidak terlal

"22, Let Me Do More!" Katamu

Maaf belum menjadi sosok yang diharapkan Maaf tidak selalu ada di waktu yang tepat Maaf karena mungkin sering mengganggu pikiran Maaf untuk semuanya MASIH INGET FOTO INI? Masih disimpen gak di rumah? Gak kerasa 2 tahun lalu..                 Masih ingat pesanmu tahun lalu? Hehe, mustahil kamu lupa. Bahkan setiap bulan berakhir, aku selalu mengingat ‘tugas’ mu itu. Tapi, mungkin aku terkesan tidak memenuhi permintaanmu itu. Maaf ya.                 Sebelumnya, mau tanya kabar dulu nih yang udah lengser. Sepertinya aku sangat kurang berkomunikasi denganmu beberapa bulan terakhir ini, ya? Boleh kesel, silakan aja. Tapi, untuk tahun terakhir ini, pikiranku benar-benar terkuras untuk kuliah dan keluarga. Bagaimana kabarmu? Semoga semangatnya tidak pernah luntur walaupun sudah demisioner. Dan, bagaimana setelah demis? Kapok? Ketagihan? Semoga yang didapat lebih banyak dari yang diharapkan selama memimpin kemarin. Aamiin.                 Selama satu tahun ini seper

Assessing Yourself: Don't Read If You're Busy

     Tentang diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah gudangnya salah. Begitu juga gue. Tapi, penting untuk kita semua untuk mengenali diri sendiri, kelebihan maupun kekurangan. Setiap orang memiliki latar belakang berbeda sehingga berbeda pula cara berpikirnya. Hanya orang yang open minded yang bisa menerima pemikiran berbeda. Mungkin tulisan ini akan membuat beberapa orang memilih untuk meninggalkan tulisan yang ‘asal’ ini. Mungkin juga ada banyak orang yang banting setir jadi netizen yang suka berkomentar tanpa ada arah dan tujuan. Atau mungkin juga ada segelintir orang yang akan mengiyakan tulisan ini. Pahami bahwa blog adalah wadah mencurahkan isi hati dan pikiran. Ini bukan rubrik opini Kompas yang harus melalui berbagai seleksi agar dapat diterima semua pembacanya. Tulisan ini bisa jadi bersifat subjektif karena ini murni pendapat saya.      Pertama, gue paling tidak suka ada orang yang mengklasifikasikan orang dengan sebutan “Ah, lo kapitalis banget. Mi

Review Film #TemanTapiMenikah

                 Film #TemanTapiMenikah ini kayanya tidak perlu ditanya lagi, “Ceritanya bagus atau gak?” Kalau menurut gue, ya pasti bagus dan kita semua tahu cerita cinta Ayu dan Ditto bukan cerita biasa. Jadi, kita skip saja mengenai alur cerita atau plot nya, ya. Sedikit mungkin, menurut gue scriptwriter nya, Johanna Wattimena dan Upi, bisa memadatkan ceritanya tanpa kehilangan esensi dari keseluruhan cerita. Great!         Sekarang kita bahas aktornya. Menurut gue, Vanessa dan Adipati ‘dapet’ untuk memerankan Ayu dan Ditto. Gue bisa membayangkan mereka benar-benar Ayu dan Ditto walaupun Vanessa kurang greget sedikit karena Ayu agak lebih ‘cowo’ daripada itu haha. Adipati keren sih memerankan sebagai Ditto, mulai dari gestur, cara bicara, menurut gue sesuai sama apa yang gue baca di buku #TemanTapiMenikah dan yang gue liat selama ini di dunia maya. Pemeran pendukung pun bisa melengkapi cerita dengan baik.          Untuk masalah sinematografi, gue awam sekali dengan hal i