Langsung ke konten utama

UMKM Mampu Bertahan Gak, Sih?

Kenapa ya masih percaya aja bisnis gue bakalan bisa berkembang walaupun harus capek mengumpulkan receh demi receh setiap harinya? Tulisan ini akan lebih banyak bahas pengalaman gue dan hasil pengamatan gue terhadap pelaku UMKM.

Sebenernya udah lama mau nulis, tapi trigger datang dari hasil gue scroll Twitter kemarin. Tertampar untuk kesekian kali saat baca tangkapan layar (screenshot) yang berisi curhatan Owner Men's Republic (Yasa Singgih) di Twitter. Pertanyaan yang ini loh yang bikin gue ikut merenung:

"Am I born to be an entrepreneur?"

Wah, jawabannya apa tuh? Hahaha bikin sakit perut bacanya. Gue sempat baca tulisan Yasa (walaupun belum pernah punya bukunya) dan jujur memang menginspirasi kok kisahnya dalam berbisnis. Terlepas dari masalah yang dialaminya--dan memang semua pengusaha akan selalu berdekatan dengan tumpukan masalah--gue sebenarnya berharap brand lokal tidak redup di masa new normal ini, termasuk MR. 

Kenapa emang? The strongest reason saat ini dimenangkan oleh pemerintah. Faktor bantuan dan stimulus dari pemerintah yang harusnya bisa dimanfaatkan bareng-bareng oleh pelaku UMKM, brand lokal, untuk secepatnya berkembang. Walaupun birokrasi ribet dan terkesan kurang persiapan, seyogyanya (azeek!) kita patut bersyukur sih pemerintah Indonesia masih ada kemauan untuk mengembangkan UMKM nya. 

Oke ini nyambung kok, tapi bahas sebentar deh terkait harapan dan realisasi berkembangnya UMKM ini wkwk skidipapap~

Balik lagi ya tapi, gak semudah itu memang untuk melesatkan perkembangan UMKM di Indonesia. Keinginan dan harapan yang digadang-gadang--apalagi saat pandemi mulai--itu luar biasa banget kan? Coba lah kalian baca/dengar di berbagai platform, salah satu hot issue pasti tentang UMKM. Impresi yang sangat apik yang dibangun pemerintah.

Tapi kalau mau ditelusuri lebih dalam, masih banyak ternyata para pelaku UMKM yang merasa tidak terbantu. Alasannya? Birokrasi ribet, kesenjangan komunikasi dengan pemerintah, dan lainnya. Loh, kok bisa gitu?

Menurut gue sih, simply karena masalah setiap UMKM itu berbeda dan pemerintah belum pernah terjun langsung ke seluruh pelaku UMKM. Wkwk kadang emang lucu sih karena gue juga pelaku UMKM, melihat banyaknya bantuan pemerintah tapi ujung-ujungnya yang terbantu sedikit. Ya itu, karena di tengah jalan para pelaku usaha ini banyak kehabisan waktu, kehabisan energi, yang harusnya bisa dialokasikan untuk produksi di rumah.

Namanya juga trade-off ya, kalau mau mendapatkan sesuatu emang harus ada yang dikorbankan. Gue juga sebenernya udah lolos kurasi ya untuk program stimulus Kemenparekraf (PSBBI). Awal-awal udah alokasiin waktu untuk lengkapin etalase toko di e-commerce, baca detail surat perjanjian kerjasama, sampe akhirnya gue udah dapet SK, eh malah memutuskan mundur wkwk. Lagi-lagi, karena gue juga memperhitungkan waktu, budget, dan lain-lain. Eh, sombong banget lu bud udah lolos kurasi, dapet SK, malah mundur?! Eits coba nanti gue kasihtau programnya bagi yang penasaran dan deadline yang super mepet sejak SK gue terbit haha.

UMKM ini harus kuat dulu prinsip pelaku usahanya, kuat mental, kuat rugi, kuat fisik, pokoknya harus kuat. Surprisingly, yang setahun belakangan ini gue amati, ada satu faktor yang orang suka lupa bahas dari ketahanan sebuah UMKM, pun di masa krisis. Apa itu? Faktor religius. UMKM tidak akan sekuat ini kalau pelakunya tidak kuat pondasinya, tidak lain dalam hal ini agama. Banyak yang lupa, banyak yang terlalu fokus dengan faktor produksi, faktor budgeting, faktor resiliensi diri, tapi tidak membahas faktor religiusnya.

Dari kasus MR juga bisa dilihat ya bahwa ketenangan yang akhirnya didapatkan Yasa itu karena dia melakukan ritual yang dia percayai dan ujung-ujungnya dia merasa lebih dekat kepada Tuhan. Tentu ritual yang dimaksud positif ya dan berbeda antar agama.

Di akhir tulisan ini gue cuma bisa berdoa supaya UMKM dan brand-brand lokal bisa terus terbiasa dengan fluktuasi perekonomian Indonesia. Terkhusus untuk gue juga semoga bisa selalu dikuatkan, bisa terbiasa menghadapi sulitnya kehidupan supaya gak lupa sama orang-orang yang lebih membutuhkan daripada gue.

UMKM have to survive. Gue harap kita semua selalu dalam jalan yang benar dan faktor religiusnya gak pernah hilang. 


Owner FaaDD Frozen Food,

Faadhila




Komentar

Postingan populer dari blog ini

99 Cahaya di Langit Eropa Part 1 (Film)

Setelah baca novel karya Hanum Rais setahun yang lalu, akhirnya film itu muncul. 99 Cahaya di Langit Eropa akhirnya dijadikan film! Seneng banget lah dan hari pertama main, langsung pengen nonton, tapi baru kesampean kemarin, 8 Desember 2013 bareng temen-temen XI IPA 2 :D Gue mau review film 99 Cahaya di Langit Eropa ya, mohon maaf yang belum nonton, diliat dulu review-nya juga boleh hehe.             Hanum yang ikut dengan suaminya, Rangga--yang melanjutkan studinya di Wina--sempat merasa bosan. Hanum ingin pulang ke Indonesia, tetapi lambat laun, dengan orang dan lingkungan yang baru dikenalnya, seketika Hanum jatuh cinta terhadap Eropa! Semua berawal dari Hanum mengikuti kursus Bahasa Jerman. Dia bertemu seorang wanita berhijab yang ternyata bernama Fatma Pasha. Singkat cerita, Hanum banyak belajar dari seorang Fatma. Pelajaran paling berharga, yang membuat Hanum jatuh cinta terhadap Eropa adalah, ternyata banyak sekali rah...

Tepat 17 Tahun

Bismillahirrahmanirrahim.          Bismillah mulai hari ini, 26 Juli 2014, lebih mendekatkan diri padaNya. Gue tahu ini kewajiban, gue tahu ini akan jadi pertanggungjawaban Ayah di akhirat kelak. Ilmu yang gue sekarang punya, masih kurang. Semoga dengan keputusan gue ini (eh bukan keputusan, ini kesadaran gue akan kewajiban dari Dia kepada seluruh muslimah), akan banyak hikmah yang kelak gue dapat.          Teman-teman yang sudah mendorong gue terus, yang sudah mencontohkan, yang udah berhasil menyindir dengan segala cara (jahat ya wkwk), yang enggak ada bosan-bosannya mengingatkan gue dan nanyain terus kapan mulai, terima kasih banyak! Tanpa peran kalian, mungkin hanya ada sebatas niat tanpa implementasi. Semoga kebaikan kalian dibalas dengan yang lebih baik dari Yang Maha Pemberi Nikmat. Aamiin.          Dan ini yang baru gue inget! Gue lahir di Bogor, 7...

Eco Fun Go! Festival, Meet My New Family!

          Menjadi seorang volunteer Eco Fun Go! Festival adalah pengalaman yang tidak akan saya lupakan. Pandangan saya tentang volunteer menjadi lebih luas. Menjadi volunteer dalam acara besar ini ternyata tidak hanya menambah pengalaman saya, tetapi juga keluarga, informasi, juga motivasi baru. Mungkin terdengar ambisius, tetapi saat ada ‘lowongan’ untuk menjadi volunteer , hati saya tergerak untuk ikut karena sejujurnya jam terbang saya menjadi volunteer sangat minim. “Mungkin, ini kesempatan yang baik,” kata saya dalam hati waktu itu.            Apa yang membuat saya tertarik? Atau apa motivasi saya menjadi volunteer di Eco Fun Go! Festival? Ini adalah pertanyaan klise mungkin, kalau saja diadakan wawancara dari pihak Ecofun Community. Alhamdulillah, mereka sedang menyaring mahasiswa yang tinggal di sekitaran Bogor supaya mudah untuk mengadakan rapat dan segala persiapanny...