Tulisan ini mungkin akan sedikit menguras emosi karena otak sedang dipenuhi dengan momen obrolan bersama orang-orang yang gue hargai dan syukuri ada di dalam hidup gue saat ini.
Beberapa hari lalu, tepatnya
tanggal 28 Maret 2021, setelah satu tahun lebih empat bulan tidak bertemu,
akhirnya gue masih diberi kesempatan untuk berbincang dengan ketiga sahabat
gue.
Sedikit mundur ke masa-masa dulu
pertama ketemu mereka, gue masih sulit percaya dan selalu mengucap syukur
berkali-kali saat tahu mereka bisa menjadi salah tiga orang yang bertahan di
dekat gue sampai saat ini.
Mulai dari yang paling terlama dulu
kali, ya. Faradila a.k.a Dela adalah teman gue sejak SD. Kita mulai deket itu
kelas 5 karena kita sekelas, duduk sebangku, sampai wali kelas kita minta kita
untuk pisah tempat duduk karena nama kita yang hampir sama. Lucu gak sih?
Ternyata pertemanan kita terus terjalin (tanpa kita sadari) karena kita masuk
SMP dan SMA yang sama. Duh, gimana bisa gitu del?
Beralih dulu ke Azkia. Sebenernya
gue udah kenal sejak kelas 7 SMP. Walaupun kita awalnya gak sekelas, rumah kita
satu arah dan sering naik angkot bareng. Kelas 8 SMP ternyata kita ditakdirkan
satu kelas tapi kita pun tidak sedekat seperti sekarang. Dengan izinNya, gue
pun kembali satu sekolah lagi saat SMA, bahkan 2 tahun satu kelas dan satu
lingkungan ekstrakurikuler.
Tidak jauh berbeda dengan Dela dan
Azkia, walaupun baru berkenalan di SMA, gue dan Nurul juga diberi kesempatan
satu kelas selama 2 tahun dan bahkan jadi GO-mate selama 1 tahun. Kesimpulannya
adalah kita berempat dipertemukan bersama di dua tahun terakhir masa SMA. Tidak
lupa, teman wisata kuliner semasa SMA yang bisa diajak diskusi haha.
Gue selalu percaya setiap kali Dia
mempertemukan gue dengan seseorang, momen itu bisa diartikan dua hal. Bisa jadi
orang itu akan terus ada di hidup gue entah itu sebagai teman, sahabat, atau
pasangan. Tetapi di samping itu, mungkin juga orang itu akan menjadi ‘ujian’
bagi gue entah dalam konteks akademik, moral, bahkan mungkin mental. Gue selalu
percaya akan hal itu dan itu yang membuat gue akhirnya menjadi ‘pemilih’ dalam
berteman, apalagi bersahabat.
Gue tahu mungkin itu kurang baik,
tapi gue berusaha tidak menyakiti diri gue sendiri dengan salah memilih orang
terdekat. Toh, tidak ada cara terbaik kecuali diri kita yang dapat menerima
cara itu sendiri, bukan?
--
Setelah November 2019 kita membuka
dan mengakhiri obrolan di McD Juanda, kemarin kita memilih salah satu kedai kopi
baru. Obrolan kita seperti biasa selalu diisi canda tawa. Tapi, setiap bertemu
mereka selalu ada topik unik, asik, dan ciamik untuk dibahas.
Karena kita berempat berbeda
jurusan, cerita kita pun beragam. Gue selalu senang bisa bertanya sedalam
apapun tentang mereka, baik itu tentang kuliah atau kehidupan.
Satu hal yang pasti, gue selalu
diingatkan oleh perkataan dan perbuatan mereka. Inilah mengapa mungkin ini
salah satu tulisan cukup menguras emosi.
Seperti saat berbincang dengan
Nurul, ada satu poin dimana gue tiba-tiba dibuat mikir, gue harus tahu pasti kemampuan
gue dan bisa kontribusi maksimal di bidang gue. Saat ini gue berusaha untuk
bisa mengerjakan semuanya, tapi gue lupa kalau Dia sudah menganugerahi gue
kemampuan dan harusnya gue bisa kontribusi dengan kemampuan gue itu. Nurul juga
bisa membuat gue terus berlatih sabar dalam segala hal, sih. Tidak semua di
dunia ini bisa kita raih, tapi bukan berarti gak bisa kita capai juga.
Pun sama saat gue harus dengar
cerita Azkia. Selain gue diingatkan akan idealisme sebagai manusia, gue pun diingatkan
untuk “Selama ini lo ngapain aja, Faadhila? Tujuan lo sebenernya apa? Manfaat
apa yang akan lo berikan?” Azkia selalu bisa membawa pengaruh setiap selesai
obrolan, positif pastinya. Berjalan menuju tujuan itu tidak perlu berlari—mencoba
untuk menyusul lainnya dengan tergopoh—karena kita punya kapasitas sendiri dan
tidak perlu takut jika ada di belakang orang lain. Itu yang bisa gue simpulkan
setiap selesai berbincang dengan sosok ini. Tidak ambisius bukan berarti kalah,
asal tahu tujuannya dan berniat melalui prosesnya.
Kalau yang satu ini juga sangat
memberi gue insight tentang kemandirian dan kepercayaan pada diri sendiri. Dela
selalu bisa membuat gue sadar bahwa penting banget untuk bisa ‘bicara’ dengan
diri sendiri dan pada akhirnya yakin dengan apapun keputusan yang kita ambil. Mungkin
akan ada masanya kita berada di titik yang gak pernah kita bayangkan—betapa sakit
atau perihnya kita gak pernah tahu—tapi dengan keyakinan terhadap diri sendiri,
hal itu jadi biasa dan suatu saat akan ada kalanya kita ada di titik puncak.
Dia juga bisa membuat gue belajar bahwa penting untuk berdiri di atas kaki
sendiri, tidak bergantung kepada siapapun, dan dengan begitu kita bisa tenang
melewati segala hal.
Banyak sebenarnya yang mau gue
tulis, tentang mereka, tentang pemikiran mereka, tentang bagaimana mereka
melihat kehidupan. Obrolan pun tidak terlepas dari pembahasan pernikahan.
Ternyata, mendengar pemikiran mereka, gue mencoba belajar dan mengambil
intisari dari setiap orang. Salut, di saat tidak ada yang berlomba untuk ke
jenjang itu. Bukan berarti tidak mau, tapi kesiapan diri itu nomor satu.
Sungguh gue sangat beruntung punya
mereka. Gue selalu merasa re-charge diri
setiap ngobrol sama mereka. Akan sangat rindu dengan berbagai topik
perbincangan kita berempat. Ketenangan,
kemampuan melihat berbagai situasi dengan lebih simpel, keinginan untuk terus
menuju tujuan, dan mungkin masih banyak hal lainnya yang gue rasakan setelah
bertemu mereka. Tidak ada doa lain selain menginginkan mereka terus sehat,
dimudahkan segala urusannya, dan bisa selalu menjadi teman gue di dunia juga di
surgaNya. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar