Aku lupa
hari itu. Hari yang menjadi takdir pertemuan pertama kami. Aku maupun dia
adalah dua insan dengan tujuan yang berbeda. Jangankan soal tujuan, kondisi
kami pun berbeda sejak awal. Entah suasana apa yang menjadi teman hati kami
kala itu, tetapi aku sangat percaya bahwa setiap kita akan memiliki impresi
singkat saat bertemu seseorang. Tidak terkecuali aku terhadapnya, juga dia
terhadapku.
Banyak
sekali pemahaman mengenai impresi. Sebuah pemikiran yang muncul pertama kali
saat bertemu seseorang atau menemukan sesuatu. Katanya, impresi pertama begitu
penting dan bermakna. Katanya, baik-baiklah saat bertemu orang pertama kali.
Apakah pemikiran itu benar? Untuk apa menjadi baik jika hanya di awal?
Bagaimana kalau aku tidak menyukai orang itu atau benda itu? Lalu, setelah
menjadi baik di awal, apakah aku boleh menyatakan ketidaksukaanku terhadap hal
itu? Aku tidak begitu yakin dengan pemikiran itu.
Tak ada yang
benar-benar menarik perhatianku saat itu. Sosok yang tidak terlalu memiliki
aura kuat sehingga menyihir orang-orang di sekitarnya dengan kehadirannya. Sudah
bukan hal asing lagi, mereka yang ‘setingkat’ dengannya berlalu lalang di
kampus hampir setiap hari. Termasuk dia.
Orangnya
saja aku tidak peduli, apalagi namanya. Hari-hariku berkuliah dipenuhi dengan
tugas dan pikiran tentang pencapaianku saat ini. Otakku hampir menunjukkan
sinyal ‘dilarang masuk’ bagi hal-hal
yang tidak penting untuk kupikirkan, hingga hari dimana aku mulai ‘melihatnya’.
Siapa ya dia?
Untuk pertama kalinya sinyal 'dilarang masuk' ku memudar.
-tobecontinued-
Komentar
Posting Komentar