Sosok
Runy dan Gama muncul di ujung taman, mengarah ke kamar Dimas. Saat itu Deka
sedang mendengarkan musik dari hand phone
nya di deretan kursi depan kamar Dimas, ketika dia melihat mereka menuju ke arahnya.
“Wah, gawat! Gue harus ngapain
sekarang? Bilang ke Reyna kalau ada Runy atau apa? Ya ampun gue stress sendiri gini.
Ah, iya. Gue langsung ke parkiran aja. Nanti gue tinggal sms ke Reyna kalau gue
nunggu di sana. Yes, beres!” Deka lari menuju pintu lain rumah sakit itu menuju
parkiran. Pesan singkat segera meluncur ke hand
phone Reyna.
To: Si Sibuk
Rey, gue ada di parkiran. Cepetan
woy!
Dering
sms menggetarkan saku kanan celana Reyna. Dia merogoh sakunya dan menerima
pesan singkat. Dari Deka.
To: Anak Apatis se-Jagad
Ok, Ka.
“Gitu,
Rey. Gue bisa kan percaya sama lo? Please”
Dimas memohon kepada Reyna. Dengan sedikit berat hati atas rencana Dimas, Reyna
tetap mengangguk.
“Oke, Dim. Gue pamit, ya.” Reyna
menuju pintu, keluar, dan menutupnya pelan-pelan. Semoga tidak akan terjadi apa-apa dengan gue melakukan hal ini,
kata Reyna dalam hati.
Reyna berlari menuju parkiran agar
cepat meninggalkan rumah sakit. Hatinya sangat tidak keruan hari itu. Dari
kejauhan, Deka melambaikan tangan pada sahabatnya itu. Reyna hanya menaikkan alis
kanannya, lalu langsung duduk di belakang Deka.
Deka tertawa melihat raut wajah
Reyna. “Enggak salah lagi pasti ada yang enggak beres, si Dimas ngapain lo,
Rey?”
Sembari membenarkan tempat duduknya
di jok motor Deka, dia hanya menjawab, “Ada misi baru dan gue berharap ini
cepat selesai.”
Kamis. Pagi hari di sekolah adalah
suasana paling nyaman menurutku. Di saat udara belum terkontaminasi oleh polusi,
kondisi kelas masih bersih, dan koridor yang masih lengang. Aku sangat menyukai
saat-saat seperti ini, apalagi ditambah dengan dua sahabat yang selalu mengisi
hari-hariku. Deka dan Reyna.
Hari ini aku berniat untuk bicara
serius dengannya mengenai masalah Dimas. Aku merasa seperti anak kecil yang
tidak bisa bertindak cepat, padahal hal seperti itu bisa diselesaikan dalam
waktu singkat.
Hanya aku dan dua orang teman lain
yang sementara menghuni kelas ini. Aku memutuskan membaca buku Biologi, tetapi
sebelum aku membuka halaman pertama, Reyna datang.
Dia memilih tempat duduk di
sampingku? Cepat-cepat aku membuka mulut agar tidak kehilangan kesempatan ini. Saat
itu juga, Reyna langsung bicara. Kami sama-sama ingin bicara sesuatu.
“Lo duluan aja,” kataku cepat. Reyna
mengangguk. “Sebelumnya, gue minta maaf, Run. Gue udah kayak anak kecil,
perbuatan gue ke lo itu sangat kekanak-kanakan. Maafin gue, ya. Please,” kata Reyna sembari memegang tanganku.
Aku memeluk Reyna. “Lo itu sahabat
gue, Rey. Dan gue enggak akan mau kehilangan sahabat. Nanti temen gue siapa?
Haha,” kataku sambil melepas pelukan. Aku melanjutkan, “Intinya, gue juga mau
minta maaf. Gue tuh enggak enak banget dicuekin sama lo, Deka udah cuek, masa
lo mau cuek juga?” Kami tertawa di pagi itu, di kelas yang lengang.
“Dan, gue punya kabar baik. Lo
enggak usah khawatir karena gue sama Dimas itu enggak ada apa-apa. Kita bisa
diskusi bareng di tempat les. Lo bisa diskusi bareng dia, dan kenal lebih dekat
sama Dimas.” Kata-kataku terasa berat keluar dari mulut. Aku harus melakukan
ini demi Reyna. Semoga dia senang dengan berita ini.
Reyna menunduk. Beberapa lama hanya
suara pensil diketuk-ketuk milik seorang teman. Akhirnya, Reyna menatapku dan mengangguk, senyumnya
mengembang. “Makasih, Run. Lo emang sahabat gue yang baik banget,” balas Reyna.
Senin. Waktu kami bertiga les
kembali. Aku sudah mempersiapkan mental untuk melihat kedekatan Reyna dengan
Dimas hari ini. Dimas mengirimkan pesan singkat kemarin sore bahwa dia sudah
dibolehkan pulang ke rumah.
Deka yang selalu cuek, sekarang sedang
bermain basket di lapangan sekolah. Setelah waktu istirahat tadi, guru kami
tidak bisa masuk dan kami memutuskan untuk pergi ke lapangan luar.
“Hari ini kita les, kan?” Deka yang
berhasil memasukkan bola, teriak kepada aku dan Reyna. Kami membalasnya dengan
berteriak pula. Kami bertiga tertawa. Sungguh indah saat aku bisa bersama kedua
sahabatku ini. Aku berjanji akan menjaga mereka.
“Yuk, langsung cabut kita!” Deka
sangat bersemangat, telah dipegangnya kunci motor miliknya. Aku dan Reyna
memutuskan naik angkot saja sementara Deka pergi duluan.
Di perjalanan, kami membicarakan
Ujian Nasional yang sudah di depan mata. Kami berdua berjanji akan melakukan
belajar bersama di luar hari les. Selain itu, kami paling senang membicarakan
sahabat kita yang tomboi itu. Sangat menyenangkan bergurau dengan sahabat
seperti ini.
Kesenangan itu mungkin tidak akan
bertahan lama jika kami sampai tempat les.
Deka
memakirkan motornya di depan tempat les. Sambil bersiul dia masuk dan memberi
salam kepada CS. Dia menuju lantai
4, masih bersiul, tetapi tiba-tiba berhenti saat di depan pintu kelas.
“Dia?
Tumben datang duluan. Dan dia ngapain bawa buket bunga? Gue enggak tahu namanya
pula. Tanya atau enggak? Ah, gue intip dulu aja.” Deka penasaran, tidak
memutuskan untuk masuk. Dia ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh Gama.
Gama
menulis sesuatu di suatu kertas menggunakan spidol warna-warni. Dimasukkannya
ke dalam buket bunga yang beranggotakan melati dan mawar merah. Setelahnya, dia
berkata sesuatu yang membuat Deka terperanjat. Pintu yang sedikit terbuka itu
menjadi medium suara Gama untuk sampai ke telinga Deka dengan jelas.
“What? Buat Runy?!” pekiknya dalam hati.
(BERSAMBUNG)
Komentar
Posting Komentar