Dimas adalah sosok yang baik. Kesan
itu muncul saat pertama kali aku melihat di tempat les. Sifat itu disempurnakan
dengan paras tampan dan badannya yang tegap. Alisnya sedikit tertarik ke atas,
tetapi sorot matanya meneduhkan. Hidungnya cukup untuk menahan kacamata yang
dipakainya, dan satu lesung pipitnya selalu menambah indah senyumnya. Hanya saja, dia akan sangat cuek dengan
barang atau seseorang yang tidak menarik hatinya. Dimas sudah terkenal dengan
kepintarannya dalam pelajaran Matematika. Aku sempat berdiskusi dengannya dan
dia bisa meyelesaikannya dengan sempurna. Malam itu biasa saja sampai akhirnya
Dimas mengirimkan sms padaku.
From:
0857********
Runy,
ini Dimas. Gue boleh kan lebih sering diskusi sama lo? Hmm, biar lebih pinter
mate gue hehe.
Sms nya sangat aneh menurutku saat
itu. Tapi, setelah mencerna baik-baik, aku tahu maksudnya. Sejak saat itu, kami
sering diskusi lewat sms, yang pasti tidak hanya diskusi soal pelajaran.
Sikapnya saat di tempat les pun tidak terlalu menunjukkan bahwa dia sudah dekat
denganku, biasa saja. Kejadian di hari yang tidak diharapkan itu akhirnya
berhasil menunjukkan kedekatan dia denganku sekaligus melengangkan
persahabatanku dengan Reyna.
“Oh, eh, umm, iya. Oke, boleh.
Dimana, Ga?” jawabku tergagap. Aku mencoba mengakrabkan diri dengan
memanggilnya ‘Ga’.
Gue yang nentuin, gimana?” Aku
terheran, tapi langsung setuju, lagipula aku juga tidak punya referensi yang
lebih baik. Kami menaiki motor Gama menuju jembatan besar. Gama memakirkan di
salah satu sisi jembatan dan mempersilakan gue turun. Hening sesaat. Yang ada
hanya kicauan burung di sore hari dan angin yang menyibak pelan rambut kami.
“Run,” Gama memulai percakapan. Aku
tidak merespons, hanya memindahkan tatapanku ke arahnya. “Maaf, gue udah ikut
campur masalah lo. Tapi, gue bener gak kalo lo emang lagi ada masalah sama
Reyna? Gara-gara cowok?” Pertanyaan Gama membuat napasku tertahan. Aku membuang
pandangan ke arah lain, sembari menggoyangkan kaki kananku. Pada intinya, aku
malas menjawabnya, tapi akhirnya aku mengangguk.
Respons yang tidak aku sangka, Gama
tertawa kecil. Dahiku mengenyit, tetapi sebelum aku ingin marah, dia sudah lebih
dulu berbicara. “Gue enggak ada sangkut pautnya sama lo, Reyna, juga cowok itu.
Gue tahu karena Senin itu, gue lihat Reyna tidak seperti biasanya, dia menjauh
dari lo saat bel pulang.
Gue juga pernah ada di posisi lo,
Run. Percaya atau enggak, sekarang gue udah bener-bener kehilangan kontak
sahabat gue itu, terakhir setahun yang lalu. Gue cuma mau pesen ke lo, jaga
baik-baik sahabat lo. Gue tahu lo udah deket sama Reyna, mungkin gue sok tahu,
tapi siapapun Reyna buat lo, jaga dia sebagai salah satu pemberi warna di hidup
lo, Run. Senin itu, saat gue lihat Reyna keluar kelas tanpa ngomong apa-apa ke
lo, ingatan gue langsung balik tentang sahabat gue, gue gatau dia dimana.”
Suara Gama bergetar hebat. Aku sama sekali tidak menyangka akan melibatkan Gama
dalam masalah ini. Amarahku padam, digantikan oleh rasa iba.
“Ga… Gue bener-bener enggak tahu
masalah lo. Thanks banget atas cerita
lo yang semakin membuat gue yakin, gue janji akan berusaha menjaga persahabatan
gue sama Reyna. Gue juga turut prihatin, ya. Semoga secepatnya lo bisa
mengklarifikasi masalah lo dengan sahabat lo itu.”
Aku
menepuk bahu Gama, hanya itu yang bisa aku lakukan. Gama seperti baru tersadar dari
pikirannya dan tersenyum. “Sama-sama, Run. Oh iya, tadi Dimas enggak masuk,
kenapa?” Aku tersentak, mengapa Gama tiba-tiba menanyakan Dimas. Gama tersenyum
lagi dan berkata, “Jangan dikira gue enggak tahu, Run. Gue tahu cowok itu
Dimas.” Tak lama, deru mesin motor Gama berbunyi, dia mempersilakan gue naik.
Kami menuju tempat les kembali, menanyakan Dimas ke Customer Service.
Customer Service adalah posisi
penting di tempat les itu. Mereka yang memberitahu jadwal les, mengetahui siswa
masuk atau tidak, dan mengingatkan kami untuk Try Out. Aku dan Gama sampai di
tempat les. Buru-buru aku menuju CS. Aku setengah berteriak saat CS memberitahu
bahwa Dimas ada di rumah sakit. Aku segera meluncur ke rumah sakit dengan Gama.
Sampai di sana, dengan cepat kami menemukan kamar Dimas. Gama berjalan di
depanku saat menuju kamar Dimas. Tetapi tiba-tiba saja Gama berhenti. Aku yang
sudah khawatir dengan keadaan Dimas, memukul pundaknya pelan. “Kenapa pake
acara berhenti segala, sih?”
Gama menatap mataku, aku heran
dengan sikapnya. Dia menunjuk ke dalam kamar Dimas, aku sontak kaget melihat Reyna
sudah berada di samping tempat tidur Dimas. Gama menepuk bahuku,
menngisyaratkan agar memberi kesempatan kepada Reyna. Aku mengangguk, tidak
tahu lagi apa yang sebaiknya aku lakukan.
Setengah jam menunggu di koridor,
akhirnya ada tanda-tanda bahwa Reyna akan keluar. Suaranya semakin jelas dari
tempat dudukku dan Gama. Kami memutuskan bersembunyi sampai Reyna benar-benar
pergi.
Saat Reyna keluar, terlihat dia
menarik napas panjang sekali dan mengembuskannya, tanda-tanda seseorang sudah
tak tahan dengan masalah yang menimpanya. Aku akhirnya masuk ke dalam kamar
Dimas, Gama memaksa untuk menunggu di luar saja.
Dimas tersenyum melihat
kedatanganku. “Run, hey.” Suara Dimas terdengar lemah, aku tambah khawatir
dengan keadaannya. “Lo sa..sakit apa, Dim? Kok enggak ngabarin gue?”
“Iya, maaf, ya. Gue enggak mau lo
malah kepikiran haha. Gue geer banget ya, Run. Ya pokoknya lo enggak usah
khawatirin kondisi gue,” jawab Dimas. Aku bisa merasakan ketulusan Dimas saat
melontarkan kalimat tadi.
“Lo harusnya kabarin gue, kalo kayak
gini malah bikin khawatir. Oh iya, Dim. Gue mau ngomong sesuatu,” kataku. Aku
sudah memantapkan hati untuk berbicara ini, demi persahabatanku dan Reyna.
“Gue udah tahu lo mau ngomong apa,
Run,” jawab Dimas singkat.
“Hah?” Kedua alisku bersatu.
(BERSAMBUNG)
Komentar
Posting Komentar