Semarak acara charity yang berakhir di lapangan luar
sekolah, sukses membuat OSIS sibuk. Termasuk Reyna. Banyak anak-anak panti
asuhan yang sudah dibantu. Hari itu adalah jadwal les Runy, Deka, dan Reyna. Keberhasilan
OSIS sangat membantu mood Reyna yang
akhir-akhir ini diliputi rasa sedih dan kesal.
Deka yang melihat kesempatan itu,
langsung buru-buru menghampiri Reyna yang sedang melakukan operasi semut. “Rey,
gue bisa ngomong sama lo bentar enggak?” Seperti tidak terjadi apa-apa, Reyna
menjawab sembari mengumpulkan sampah plastik yang berserakan, “Kenapa sih lo,
Ka? Ngomong aja kali, kayak baru kenal gue sehari aja haha.”
“Ini tentang lo sama Runy,” balas
Deka, dia bersiap menerima amukan Reyna. Kalimat pendek itu menghentikan
aktivitas Reyna. Seperti baru terbangun dari tidurnya, Reyna menaruh trash bag yang dipegangnya, dan menghela
napas panjang. “Gue juga mau ngomongin itu ke lo, Ka. Jangan di sini, ke kantin
aja, yuk.” Reyna meminta izin kepada teman OSIS untuk istirahat. Deka merasa heran
dengan sikap Reyna yang jauh dari ekspektasinya, sekaligus lega karena tidak
ditimpuk dengan sampah-sampah itu.
“Lo dulu yang ngomong, Rey,” tembak
Deka, setelah mereka duduk di salah satu meja. Reyna, sekali lagi mengambil
napas dalam-dalam, mengembuskannya, lalu berkata, “Gue beneran mau minta maaf
sama Runy. Gila ya gue! Ka, lo juga pasti ngira gue kelewatan, kan? Gue kayak
anak kecil, cuma gara-gara cowok—yang bahkan gue enggak kenal—gue jadi berantem
sama Runy, yang notabene sahabat gue.” Napasnya sedikit tersengal.
“Enggak, Rey. Hal yang lo lakuin itu
masih bisa dimaklumi, kok. Tapi, kalau lo mau baikan sama Runy, ini belum
terlambat. Ternyata, lo udah makin dewasa, Rey. Suka sama cowok maksud gue
hahaha,” Deka terbahak-bahak.
Suasana sedikit mencair. Mereka
membeli minum dan makanan ringan, lalu duduk kembali di tempat yang sama. Tiba-tiba,
Deka teringat sesuatu. “Oh iya, Rey! Gue kan punya temen yang satu sekolah sama
Dimas. Kemarin baru ketemu, dia cerita kalau Dimas ada di rumah sakit. Sakit
katanya, tapi Runy belum tahu, hari ini pasti Dimas enggak masuk les.”
Reyna yang sedang menghabiskan
minumannya, tersedak. Deka kaget dan menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. Setelah
batuknya mereda akibat tersedak tadi, Reyna terlihat kesal. “Ka, lo tuh
bener-bener, ya. Gue yang udah 3 tahun sekelas sama lo aja masih kaget kalau lo
teriakkin. Gimana Runy? Pantesan aja dia ngamuk banget waktu di tempat les.”
Deka hanya nyengir sebagai respons dari amarahnya Reyna.
“Untung gue enggak punya penyakit
jantung, ye. Eh, tunggu! Tadi kata lo, Dimas sakit? Sakit apa?” Air muka Reyna
sangat menunjukkan kecemasan. Deka hanya menaikkan bahunya pertanda tidak
tahu-menahu tentang penyakit Dimas. “Tapi gue tahu di mana rumah sakitnya.”
“Antar gue ke sana pulang dari les. Tapi,
Runy jangan sampai tahu soal ini!” Reyna menatap mata Deka. Reyna melanjutkan, “Gue
mau ngomong ke Dimas langsung soal ini, biar semuanya kelar.” Bel masuk
berbunyi, kemudian mereka cepat-cepat menghabiskan jajanannya.
Di tempat les, Reyna masih belum
berani meminta maaf kepada Runy. Akhirnya, dia hanya menjawab pertanyaan Runy
seadanya, walaupun masih terkesan kesal. Reyna sibuk mengatur kepergian mereka
ke rumah sakit agar tidak ketahuan oleh Runy.
Setelah bel berbunyi panjang, Reyna
langsung menuruni anak tangga, meninggalkan Deka di belakang. Deka mengajak
Runy bicara sebentar, lalu menyusul Reyna di bawah. Mereka melaju cepat dengan
motor milik Deka. Mereka baru bisa bernapas lega setelah sampai di rumah sakit.
Kamar Dimas terletak di lantai satu,
tepat di sebelah kiri taman kecil milik rumah sakit tersebut. Deka memilih
menunggu di luar, berjaga-jaga siapa tahu Runy datang. Reyna mengangguk, lalu memberanikan
diri masuk ke kamar Dimas. Dari dalam, suara Dimas menyilakan masuk.
“Lo? Temennya Runy, kan? Satu les
kan kita?” Suara lemah Dimas mengisi kekosongan di ruangan itu. Reyna tersenyum
tipis, mengangguk kecil. “Gue Reyna, temennya Runy. Gue mau ngomong sesuatu,
Dim. Tapi lo jangan marah, ya.” Reyna membuka mulut. Dia meyakinkan hatinya
untuk segera menyelesaikan masalah ‘anak kecil’ ini.
“Hmm, soal apa ya, Rey? Lo datang sama
Runy?” Dimas terlihat keheranan, dia mencoba melihat ke luar kamar, tapi tidak
ada siapa-siapa.
“Nah, itu dia. Gue sengaja enggak
datang sama Runy. Kita lagi ada masalah, dan itu semua gara-gara gue. Gini, Dim,
gue mulai aja. Jujur, gue adalah cewek yang susah banget suka sama cowok. Gue adalah
tipikal anak yang senang kalau sibuk, makanya gue ikut OSIS. Tapi, kelas 9 ini,
gue udah mau lengser, kegiatan gue udah berkurang.
Akhirnya, gue masuk les di tempat
les itu, bareng Runy dan Deka. Mereka sahabat gue. Semua berjalan biasa saja,
sampai gue melihat lo, Dim. Enggak tahu kenapa, gue kagum sama lo. Semenjak gue
tahu lo pinter banget di pelajaran Matematika, gue baru kali ini mikirin
seorang cowok. Okay, ini mungkin
terdengar freak. Tapi, ini biang
masalahnya.” Bulir-bulir air mata Reyna segera turun kalau tidak cepat dia seka. Dimas tercengang, tidak
percaya apa yang sedang Reyna katakan.
“Gue cerita ke Runy kalau gue kagum
sama lo, Dim. Dan di hari itu pula, gue tahu kalau lo udah dekat sama Runy. Dia
enggak salah apa-apa, dia bahkan mencoba tidak menggubris lo demi gue. Gue tahu
sifat dia. Tapi, dia enggak bisa bohong sama gue. Sampai akhirnya gue marah ke
dia. Gue menyesal, Dim. Di sini, gue mau bilang apa yang gue rasain, dan semoga
ini bisa memperbaiki hubungan gue sama Runy lagi, begitu juga lo dengan Runy.
Gue harap lo enggak marah sama gue.” Kalimat Reyna berhenti sampai di situ, sekali
lagi dia menyeka air matanya.
Dimas tersenyum, lalu berkata dengan
suaranya yang masih lemah, “Terima kasih atas kejujuran lo, Rey. Runy pasti
bangga banget punya sahabat kayak lo. Gue enggak marah, Rey. Justru gue mau
minta maaf karena gue sudah telanjur dekat sama Runy. Aamiin untuk doanya. Semoga
kita bisa jadi sahabat juga, ya?”
Reyna mengangguk, walaupun masih
tersimpan rasa sedih mendengar kalimat Dimas itu. “By the way, lo sakit apa, Dim? Yang jagain di sini siapa?” Reyna
mengalihkan pembicaraan agar tidak kentara wajah sedihnya.
“Gue enggak apa-apa, kok. Ibu gue
pulang sebentar, ngambil keperluan gue di sini. Gue juga enggak tahu sampai
kapan di sini. Doain aja, ya,” jawabnya, masih dengan volume suara yang tidak
seperti biasanya.
“Enggak apa-apa tapi kok lama di
sini? Iya gue pasti doain, Dim. Eng, yaudah gue pamit, ya. Lo istirahat yang
banyak, jangan lupa makannya dijaga,” kata Reyna. Saat ingin membalikkan badan
menuju pintu keluar, tiba-tiba Dimas menahannya.
“Rey, tunggu. Lo mau bantu gue gak?”
Dimas tertawa melihat reaksiku. “Kenapa sih, Run?”
“Abisnya aneh. Lo paranormal jangan-jangan?” Aku mengernyitkan
dahi. Dimas tertawa lagi, sebaiknya aku langsung bicara saja.
“Dim, gue mau bilang. Gue lagi ada masalah sama sahabat
gue. Sahabat gue itu yang tadi jenguk lo, namanya Reyna. Dia itu ternyata kagum
sama lo, Dim. Kayanya dia beneran suka sama lo. Soalnya, dia anaknya sibuk
banget, suka enggak sadar kalau banyak cowok yang suka sama dia. Sekarang, dia
sudah mulai membuka hati sepertinya. Membuka hati buat lo, Dim,” aku berkata
sembari menundukkan kepala.
Tidak ada kata-kata keluar dari mulut Dimas. Aku
mengangkat kepala, melihat Dimas tetap terbaring dan terlihat santai. Lalu,
sesaat setelahnya, dia melihat ke arahku. “Terus, lo maunya gue gimana? Hm?”
Dimas bertanya sambil menatapku lekat-lekat.
Aku harus bagaimana? Aku ingin hubunganku dengan Reyna
cepat membaik. Aku harus memutuskan. “Gue mau lo bisa dekat juga sama Reyna,
Dim. Jangan cuek-cuek banget lah jadi orang. Diskusi sama yang lain juga bisa,
kan? Reyna juga enak diajak diskusi.” Aku merasakan hatiku tidak bisa menerima
perkataanku tadi. Bodoh.
Tidak disangka, Dimas menjawab, “Oke, nanti kalau gue
udah keluar dari rumah sakit, gue akan ngajak ngobrol Reyna juga. Gue juga
enggak enak udah cuek sama dia. Ternyata, gue udah kelewat cuek, ya.”
Aku lega. Hanya senyum yang bisa kuberi. Tapi, kenapa
tiba-tiba ada perasaan tidak enak? Seperti ada yang janggal dengan kalimat yang
barusan telontar dari mulut Dimas. Jadi, mulai sekarang, Dimas akan dekat
dengan Reyna juga? Bagus dong? Tapi, kenapa hati ini tidak berkata demikian?
(BERSAMBUNG)
Komentar
Posting Komentar