Langsung ke konten utama

PART IV



                Semarak acara charity yang berakhir di lapangan luar sekolah, sukses membuat OSIS sibuk. Termasuk Reyna. Banyak anak-anak panti asuhan yang sudah dibantu. Hari itu adalah jadwal les Runy, Deka, dan Reyna. Keberhasilan OSIS sangat membantu mood Reyna yang akhir-akhir ini diliputi rasa sedih dan kesal.
            Deka yang melihat kesempatan itu, langsung buru-buru menghampiri Reyna yang sedang melakukan operasi semut. “Rey, gue bisa ngomong sama lo bentar enggak?” Seperti tidak terjadi apa-apa, Reyna menjawab sembari mengumpulkan sampah plastik yang berserakan, “Kenapa sih lo, Ka? Ngomong aja kali, kayak baru kenal gue sehari aja haha.”
            “Ini tentang lo sama Runy,” balas Deka, dia bersiap menerima amukan Reyna. Kalimat pendek itu menghentikan aktivitas Reyna. Seperti baru terbangun dari tidurnya, Reyna menaruh trash bag yang dipegangnya, dan menghela napas panjang. “Gue juga mau ngomongin itu ke lo, Ka. Jangan di sini, ke kantin aja, yuk.” Reyna meminta izin kepada teman OSIS untuk istirahat. Deka merasa heran dengan sikap Reyna yang jauh dari ekspektasinya, sekaligus lega karena tidak ditimpuk dengan sampah-sampah itu.
            “Lo dulu yang ngomong, Rey,” tembak Deka, setelah mereka duduk di salah satu meja. Reyna, sekali lagi mengambil napas dalam-dalam, mengembuskannya, lalu berkata, “Gue beneran mau minta maaf sama Runy. Gila ya gue! Ka, lo juga pasti ngira gue kelewatan, kan? Gue kayak anak kecil, cuma gara-gara cowok—yang bahkan gue enggak kenal—gue jadi berantem sama Runy, yang notabene sahabat gue.” Napasnya sedikit tersengal.
            “Enggak, Rey. Hal yang lo lakuin itu masih bisa dimaklumi, kok. Tapi, kalau lo mau baikan sama Runy, ini belum terlambat. Ternyata, lo udah makin dewasa, Rey. Suka sama cowok maksud gue hahaha,” Deka terbahak-bahak.
            Suasana sedikit mencair. Mereka membeli minum dan makanan ringan, lalu duduk kembali di tempat yang sama. Tiba-tiba, Deka teringat sesuatu. “Oh iya, Rey! Gue kan punya temen yang satu sekolah sama Dimas. Kemarin baru ketemu, dia cerita kalau Dimas ada di rumah sakit. Sakit katanya, tapi Runy belum tahu, hari ini pasti Dimas enggak masuk les.”
            Reyna yang sedang menghabiskan minumannya, tersedak. Deka kaget dan menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu. Setelah batuknya mereda akibat tersedak tadi, Reyna terlihat kesal. “Ka, lo tuh bener-bener, ya. Gue yang udah 3 tahun sekelas sama lo aja masih kaget kalau lo teriakkin. Gimana Runy? Pantesan aja dia ngamuk banget waktu di tempat les.” Deka hanya nyengir sebagai respons dari amarahnya Reyna.
            “Untung gue enggak punya penyakit jantung, ye. Eh, tunggu! Tadi kata lo, Dimas sakit? Sakit apa?” Air muka Reyna sangat menunjukkan kecemasan. Deka hanya menaikkan bahunya pertanda tidak tahu-menahu tentang penyakit Dimas. “Tapi gue tahu di mana rumah sakitnya.”
            “Antar gue ke sana pulang dari les. Tapi, Runy jangan sampai tahu soal ini!” Reyna menatap mata Deka. Reyna melanjutkan, “Gue mau ngomong ke Dimas langsung soal ini, biar semuanya kelar.” Bel masuk berbunyi, kemudian mereka cepat-cepat menghabiskan jajanannya.
            Di tempat les, Reyna masih belum berani meminta maaf kepada Runy. Akhirnya, dia hanya menjawab pertanyaan Runy seadanya, walaupun masih terkesan kesal. Reyna sibuk mengatur kepergian mereka ke rumah sakit agar tidak ketahuan oleh Runy.
            Setelah bel berbunyi panjang, Reyna langsung menuruni anak tangga, meninggalkan Deka di belakang. Deka mengajak Runy bicara sebentar, lalu menyusul Reyna di bawah. Mereka melaju cepat dengan motor milik Deka. Mereka baru bisa bernapas lega setelah sampai di rumah sakit.
            Kamar Dimas terletak di lantai satu, tepat di sebelah kiri taman kecil milik rumah sakit tersebut. Deka memilih menunggu di luar, berjaga-jaga siapa tahu Runy datang. Reyna mengangguk, lalu memberanikan diri masuk ke kamar Dimas. Dari dalam, suara Dimas menyilakan masuk.
            “Lo? Temennya Runy, kan? Satu les kan kita?” Suara lemah Dimas mengisi kekosongan di ruangan itu. Reyna tersenyum tipis, mengangguk kecil. “Gue Reyna, temennya Runy. Gue mau ngomong sesuatu, Dim. Tapi lo jangan marah, ya.” Reyna membuka mulut. Dia meyakinkan hatinya untuk segera menyelesaikan masalah ‘anak kecil’ ini.
            “Hmm, soal apa ya, Rey? Lo datang sama Runy?” Dimas terlihat keheranan, dia mencoba melihat ke luar kamar, tapi tidak ada siapa-siapa.
            “Nah, itu dia. Gue sengaja enggak datang sama Runy. Kita lagi ada masalah, dan itu semua gara-gara gue. Gini, Dim, gue mulai aja. Jujur, gue adalah cewek yang susah banget suka sama cowok. Gue adalah tipikal anak yang senang kalau sibuk, makanya gue ikut OSIS. Tapi, kelas 9 ini, gue udah mau lengser, kegiatan gue udah berkurang.
            Akhirnya, gue masuk les di tempat les itu, bareng Runy dan Deka. Mereka sahabat gue. Semua berjalan biasa saja, sampai gue melihat lo, Dim. Enggak tahu kenapa, gue kagum sama lo. Semenjak gue tahu lo pinter banget di pelajaran Matematika, gue baru kali ini mikirin seorang cowok. Okay, ini mungkin terdengar freak. Tapi, ini biang masalahnya.” Bulir-bulir air mata Reyna segera turun kalau  tidak cepat dia seka. Dimas tercengang, tidak percaya apa yang sedang Reyna katakan.
            “Gue cerita ke Runy kalau gue kagum sama lo, Dim. Dan di hari itu pula, gue tahu kalau lo udah dekat sama Runy. Dia enggak salah apa-apa, dia bahkan mencoba tidak menggubris lo demi gue. Gue tahu sifat dia. Tapi, dia enggak bisa bohong sama gue. Sampai akhirnya gue marah ke dia. Gue menyesal, Dim. Di sini, gue mau bilang apa yang gue rasain, dan semoga ini bisa memperbaiki hubungan gue sama Runy lagi, begitu juga lo dengan Runy. Gue harap lo enggak marah sama gue.” Kalimat Reyna berhenti sampai di situ, sekali lagi dia menyeka air matanya.
            Dimas tersenyum, lalu berkata dengan suaranya yang masih lemah, “Terima kasih atas kejujuran lo, Rey. Runy pasti bangga banget punya sahabat kayak lo. Gue enggak marah, Rey. Justru gue mau minta maaf karena gue sudah telanjur dekat sama Runy. Aamiin untuk doanya. Semoga kita bisa jadi sahabat juga, ya?”
            Reyna mengangguk, walaupun masih tersimpan rasa sedih mendengar kalimat Dimas itu. “By the way, lo sakit apa, Dim? Yang jagain di sini siapa?” Reyna mengalihkan pembicaraan agar tidak kentara wajah sedihnya.
            “Gue enggak apa-apa, kok. Ibu gue pulang sebentar, ngambil keperluan gue di sini. Gue juga enggak tahu sampai kapan di sini. Doain aja, ya,” jawabnya, masih dengan volume suara yang tidak seperti biasanya.
            “Enggak apa-apa tapi kok lama di sini? Iya gue pasti doain, Dim. Eng, yaudah gue pamit, ya. Lo istirahat yang banyak, jangan lupa makannya dijaga,” kata Reyna. Saat ingin membalikkan badan menuju pintu keluar, tiba-tiba Dimas menahannya.
            “Rey, tunggu. Lo mau bantu gue gak?”

  •   

            Dimas tertawa melihat reaksiku. “Kenapa sih, Run?”
            “Abisnya aneh. Lo paranormal jangan-jangan?” Aku mengernyitkan dahi. Dimas tertawa lagi, sebaiknya aku langsung bicara saja.
            “Dim, gue mau bilang. Gue lagi ada masalah sama sahabat gue. Sahabat gue itu yang tadi jenguk lo, namanya Reyna. Dia itu ternyata kagum sama lo, Dim. Kayanya dia beneran suka sama lo. Soalnya, dia anaknya sibuk banget, suka enggak sadar kalau banyak cowok yang suka sama dia. Sekarang, dia sudah mulai membuka hati sepertinya. Membuka hati buat lo, Dim,” aku berkata sembari menundukkan kepala.
            Tidak ada kata-kata keluar dari mulut Dimas. Aku mengangkat kepala, melihat Dimas tetap terbaring dan terlihat santai. Lalu, sesaat setelahnya, dia melihat ke arahku. “Terus, lo maunya gue gimana? Hm?” Dimas bertanya sambil menatapku lekat-lekat.
            Aku harus bagaimana? Aku ingin hubunganku dengan Reyna cepat membaik. Aku harus memutuskan. “Gue mau lo bisa dekat juga sama Reyna, Dim. Jangan cuek-cuek banget lah jadi orang. Diskusi sama yang lain juga bisa, kan? Reyna juga enak diajak diskusi.” Aku merasakan hatiku tidak bisa menerima perkataanku tadi. Bodoh.
            Tidak disangka, Dimas menjawab, “Oke, nanti kalau gue udah keluar dari rumah sakit, gue akan ngajak ngobrol Reyna juga. Gue juga enggak enak udah cuek sama dia. Ternyata, gue udah kelewat cuek, ya.”
            Aku lega. Hanya senyum yang bisa kuberi. Tapi, kenapa tiba-tiba ada perasaan tidak enak? Seperti ada yang janggal dengan kalimat yang barusan telontar dari mulut Dimas. Jadi, mulai sekarang, Dimas akan dekat dengan Reyna juga? Bagus dong? Tapi, kenapa hati ini tidak berkata demikian?
(BERSAMBUNG)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eco Fun Go! Festival, Meet My New Family!

          Menjadi seorang volunteer Eco Fun Go! Festival adalah pengalaman yang tidak akan saya lupakan. Pandangan saya tentang volunteer menjadi lebih luas. Menjadi volunteer dalam acara besar ini ternyata tidak hanya menambah pengalaman saya, tetapi juga keluarga, informasi, juga motivasi baru. Mungkin terdengar ambisius, tetapi saat ada ‘lowongan’ untuk menjadi volunteer , hati saya tergerak untuk ikut karena sejujurnya jam terbang saya menjadi volunteer sangat minim. “Mungkin, ini kesempatan yang baik,” kata saya dalam hati waktu itu.            Apa yang membuat saya tertarik? Atau apa motivasi saya menjadi volunteer di Eco Fun Go! Festival? Ini adalah pertanyaan klise mungkin, kalau saja diadakan wawancara dari pihak Ecofun Community. Alhamdulillah, mereka sedang menyaring mahasiswa yang tinggal di sekitaran Bogor supaya mudah untuk mengadakan rapat dan segala persiapannya, mengingat hanya punya waktu kurang dari sebulan. Dan, saya termasuk.           Tapi, sa

Gelak Tawa dari Beragam Budaya

Viva La Komtung, kawan! Bahagia banget sih ada kontes blog review SUCI 5, jadi gue bisa memaparkan betapa sukanya gue dengan Stand Up Comedy ini. Awal gue suka sama SUCI itu tahun 2011 akhir, dimana SUCI 1 berlangsung, dan entah bagaimana gue langsung jatuh cinta sama SUCI. Gue ikutin terus acara Stand Up Comedy, entah acara tapping atau festival. Nah, yang paling ditunggu, ya, acara SUCI di KompasTV ini. Enggak kerasa, sekarang Season 5 udah kelar, dan enggak nyangka juga, cinta gue terhadap SUCI masih sama seperti 3,5 tahun lalu.             Percaya atau enggak, gue mencatat urutan-urutan komika yang tampil dari episode pertama sampai akhir. Ini gue awali dengan urutan di episode pertama, ya. Dan inilah komika-komika hebat yang bisa masuk ke tahap Show: 1.        Muhamad Tomi (TOMY) 2.        Ichsan Danny (BAIM) 3.        Indra Frimawan (INDRA) 4.        Rizky Ubaidillah (UBAY) 5.        Muhammad Rizki (RIGEN) 6.        Anjas Wira Buana (ANJAS) 7.        Barry

INAUGURASI MAXIMUSE #Magangers Batch VI Kompas Muda

     Yeah! Harus nulis lagi, berarti ada pengalaman baru lagi dari gue. Tanggal 11 Juli kemarin, MAXIMUSE atau batch gue di Kompas Muda, melaksanakan inaugurasi. Inaugurasi ini bukan pertemuan terakhir kita, hanya simbol bahwa Batch VI sudah menjadi keluarga besar Kompas! Hari yang susah buat dilupain, 11 Juli 2014. Hebohnya udah mulai dari pagi. Eh, malahan seminggu sebelumnya. Inget gak kita ribut nanya kostum apa yang mau dipake? Inget gak sehari sebelumnya kita, para perempuan bikin grup buat ngomongin catokan, hairspray, dan kawan-kawan, gara-gara gak mau ganggu kalian para laki-laki di grup MAXIMUSE? Inget gak waktu hari H kita pusing dandan di toilet, pusing mikirin pakai high heels atau flat shoes ? Inget gak para laki-laki, bingung jas dan kemeja serta dasi yang mau dipake? But, honestly, pada hari Jumat tanggal 11 Juli 2014, kita sudah tampil cantik dan ganteng kok hahaha. Hari itu, Magangers Batch V a.k.a Creafizoth udah keren banget bikin acara inaugurasi