Aku adalah seorang siswi SMP.
Guru-guru selalu memuji nilaiku yang selalu memuaskan. Setiap malam, selalu
saja ada yang menanyakan PR lewat telepon, tak terkecuali Deka dan Reyna. Mereka
adalah teman dekatku di tingkat terakhir SMP ini. Aku terkenal serius dan rajin
di lingkungan sekolah karena hampir setiap hari masuk ke perpustakaan. Aku
bukan orang yang terlalu aktif berorganisasi seperti Reyna, ataupun kelewat
apatis seperti Deka. Hanya ekstrakurikuler Bahasa Inggris yang aku ikuti,
selebihnya aku hanya fokus pada pelajaran. Tapi, satu sifat yang kentara, aku ‘gak
enakan’ sama orang lain. Sama seperti Reyna, aku pun tidak terlalu memikirkan
soal cowok, walaupun pernah beberapa kali dekat dengan kaum itu. Sampai pada
waktu ini, aku dan Reyna berada di posisi yang tidak seharusnya.
Reyna masih saja bicara panjang
lebar tentang Dimas. “Run, mending gue sapa duluan atau gimana, ya?” Hening.
Pertanyaan sekaligus kalimat terakhir dari mulut Reyna sukses membuat
kerongkonganku kering. Belum sempurna menelan ludah, seseorang yang sedari tadi
kami bicarakan akhirnya datang. Dimas datang.
Reyna tergagap saat ingin memutuskan
untuk menyapa atau diam. Dimas seperti tidak menggubris keberadaan Reyna, lalu
memilih tempat duduk di sebelahku. Gawat! Dengan setengah terengah, dia masih
menyempatkan senyum untukku. Aku menoleh ke arah Reyna yang mencuri lirik Dimas,
lalu aku beralih menoleh ke arah Dimas. Dalam hati aku berdoa semoga hari ini
lekas berakhir.
Salah satu guru Matematika masuk.
Beliau sangat kompeten dan bersahabat dalam mengajar sehingga aku melupakan
sejenak masalah Reyna dan Dimas. Saat soal kuis, kebetulan aku dan Dimas
mengacungkan jari secara bersamaan. Aku dan Dimas saling tertawa tanpa melihat
reaksi Reyna yang terlihat heran dengan sikapku. “Ayo, Runy dan Dimas silakan
maju. Tuliskan jawabannya.”
Jawabanku dan Dimas ternyata benar, lalu
diikuti tepuk tangan teman-teman sekelas. Sempat kami beradu tentang jawaban
siapa yang paling benar, lalu tawa kami pecah di depan kelas. Saat itu, aku
seperti merasa tidak terjadi apa-apa sebelumnya, termasuk tidak ada cerita
Reyna yang kagum dengan Dimas. Akhirnya, kami dipersilakan duduk kembali.
Setelah
menjatuhkan diri di kursi, kepalaku refleks menoleh ke arah kanan, yaitu Reyna.
Senyum yang tadi mengembang di wajahku langsung redup, rahangku mulai kaku.
Kesadaranku sempurna pulih saat Reyna berbisik, “Baru kali ini gue kagum sama
cowok. Tolong, Run, kasih gue kesempatan.”
Lama sekali rasanya sampai akhirnya
bel berbunyi. Saat aku membereskan buku, Reyna sudah meninggalkan kursi dan
langsung keluar kelas. Pikiranku tidak keruan, ditambah lagi pertanyaan Dimas untuk
ikut pulang bersamanya. Aku langsung menolak dan bergegas menuruni anak tangga.
Sekilas terlihat Dimas yang kebingungan.
Aku, Reyna, dan Deka les dua kali seminggu. Hari yang
tidak aku harapkan itu jatuh pada hari Senin. Kami kembali les pada hari Rabu.
Hari ini hari Selasa dan aku merasa canggung saat ingin bicara dengan Reyna,
sama seperti waktu pertama kali bertemu. Deka datang terakhir setelah kami, dia
mengernyitkan dahi saat melihat aku dan Reyna duduk berjauhan. Aku langsung
memberikan tanda agar bicara di luar kelas. Deka mengangguk.
Aku menceritakan tentang Reyna yang pertama kali kagum
sama cowok dan tentang Dimas yang sejak dua minggu lalu sudah mulai dekat
denganku. “Wah, pantes aja Run muka dia dilipet gitu tadi,” kata Deka setengah
berteriak. Aku langsung memberi peringatan agar suaranya dipelankan. Deka
khilaf untuk yang kesekian kalinya.
“Sekarang gue harus gimana? Bilang ke dia bahwa faktanya
adalah Dimas udah deket sama gue? Atau mencoba mengenalkan Reyna ke Dimas? Toh,
gue sama Dimas masih temen biasa aja,” kata gue dengan air muka penuh harap.
“Gila lo, Run. Perasaan Dimas gimana? Kalo ternyata Dimas
suka sama lo dan dia malah dikenalin sama Reyna, gimana coba? Please, jangan
egois. Nanti gue pikirin, deh. Lagian minggu ini masih ada acara OSIS, Reyna
masih harus bantu-bantu, mungkin dia akan lupa sebentar masalah ini.” Deka,
gadis apatis ini kalau sudah sayang dengan seseorang, apalagi sahabatnya, akan
berubah 180 derajat. Aku berusaha percaya dengan ucapan Deka, mungkin Reyna
akan sibuk minggu ini dan lupa sesaat soal Dimas.
Rabu. Aku masih merasa bersalah karena sikap Reyna yang
saat ini masih dingin. Saat mencoba berbicara, Reyna menjawab sekenanya dan
melengos pergi. Aku sengaja memilih tempat duduk jauh dari Reyna, duduk di
depan. Dua jam les seperti seharian di kelas. Aku tidak konsentrasi karena
memikirkan Reyna. Hari itu Dimas tidak masuk, entah apa sebabnya, dia juga
tidak mengirim sms kepadaku.
Pelajaran Fisika berakhir ditandai bel panjang berbunyi.
Deka menepuk bahuku saat Reyna sudah menuruni tangga dahulu. “Percaya sama gue,
Run. Gue akan ngomong sama dia, gue tahu sifat dia kayak gimana.” Aku
mengangguk pasrah.
Aku mendorong pintu masuk, berjalan gontai menuju
pangkalan angkot saat ada suara berat cowok namaku. Aku menoleh, menatap sosok itu, dia
satu kelas denganku tapi aku tidak kenal dengannya. “Lo manggil gue?” Dia
mengangguk. Wajahnya terpancar sinar matahari sore, lalu dia mengulurkan
tangan. “Nama gue Gama kalo lo belum tahu. Gue tahu masalah lo sama Reyna. Maaf
kalo lancang, tapi bisa bicara sebentar?”
Aku tersentak. Bagaimana bisa dia, yang bernama Gama itu,
tahu masalahku dengan Reyna? Siapa dia sebenarnya dan apa urusannya dengan
masalah ini?
(BERSAMBUNG)
(BERSAMBUNG)
Komentar
Posting Komentar