Hari
itu tempat les di bilangan Pajajaran sudah ramai dipenuhi siswa SMP. Tempat itu
sudah hapal pasti aroma keringat siswa-siswa SMP setelah pulang sekolah. Hampir
tiga bulan aku menginjakkan kaki di tempat istimewa itu untuk mempersiapkan
Ujian Nasional. Mengapa istimewa? Awalnya aku pun hanya ingin fokus pada 6 mata
pelajaran itu, tapi keadaan tidak mendukungku untuk terlalu serius. Seperti ada
yang membisikkan, “Ada yang harus kamu pelajari selain ini, Runy. Lihat sekelilingmu
dan kamu akan menemukannya.” Tepat dua bulan masa les, bukan aku yang
menemukan, tapi ada yang datang padaku.
Aku
memasuki bangunan itu, yang lebih tepat disebut ruko. Belum sempat membuka
lebar pintu masuk, dua orang siswi SMA datang menghampiriku. Mereka adalah
temanku di sekolah yang juga les di tempat ini. “Run, hasil TO udah keluar tuh!
Lagi-lagi lo dapet peringkat 10 besar. Lo ada di peringkat 5 se-Bogor! Ajarin
kita dong!” Deka, salah satu temanku yang paling tomboy di sekolah menghujaniku
dengan perkataannya.
Deka adalah gadis yang
sangat cuek. Rambutnya lurus pendek, wajahnya oval dilengkapi dengan kacamata
minus 0.75 nya. Lapangan basket adalah rumah kedua baginya setelah pulang dari
sekolah. Dia termasuk siswi yang apatis. Aku pun baru mengenalnya sejak masuk
kelas 9 ini. Aku berani bertaruh, dia hanya mengenal teman kelasnya sendiri.
Dan itu memang terbukti saat aku bertanya siapa ketua OSIS sekarang dan dia
menggeleng. Alasannya adalah karena ketua OSIS sekarang tidak pernah sekelas
dengannya. Ada orang kayak dia, ya?
Reaksiku
pertama kali adalah memukul bahu gadis berambut lurus pendek itu. Aku paling
tidak suka ada yang meneriakiku, dan Deka tahu itu. Dia hanya nyengir
memperlihatkan giginya yang putih dan tersusun rapi sembari menunjuk papan
pengumuman. Reyna, satu lagi temanku, langsung meraih tanganku agar tidak
terjadi Perang Dunia ke-3.
Reyna, satu lagi
temanku. Dia adalah perempuan kuat! Kenapa? Karena dia sabar menghadapi
kelakuan Deka selama 3 tahun. Dia selalu satu kelas dengan Deka. Thumbs up!
Hanya dia yang mengetahui seluk-beluk pribadi Deka. Reyna anak yang aktif
berorganisasi, berbeda dengan Deka. Namanya lumayan terkenal di angkatanku, dan
yang terpenting dia fashionable, bukan hanya t-shirt dan celana tiga per empat
seperti baju kebangsaan Deka. Reyna terlalu sibuk dengan kegiatannya sehingga
tidak sadar bahwa banyak yang mengaguminya. Tapi ada salah satu kebiasaan jelek
Reyna yang paling aku benci: Dia tidak bisa menjaga rahasia.
Aku
memutuskan untuk langsung naik ke kelas bersama Reyna, meninggalkan papan
pengumuman yang masih disesaki para siswa, dan juga Deka. Selama perjalanan
menuju kelas yang berada di lantai 4, aku hanya tertawa melihat ekspresi Deka
di bawah. Reyna ikut tertawa dan berjanji untuk melihat pertunjukkan seperti
tadi lagi. Segera aku mengacungkan telunjuk ke arahnya, pertanda mengingatkan
agar tidak berbuat aneh-aneh.
Kami
memilih duduk di belakang. Kelas masih sepi. Sekitar 20 kursi masih tersusun rapi.
Pendingin ruangan juga sudah agak lama dinyalakan oleh OB di situ, membuat
kelas terasa nyaman.
Tiba-tiba
saja Reyna berceletuk di sampingku, “Run, lo tahu gak? Gue lagi kagum sama
seseorang.” Mataku melebar, lalu menoleh padanya memastikan bahwa aku tidak
salah dengar. “Gue gak salah dengar, kan? Seorang Reyna yang super sibuk,
akhirnya kepikiran juga soal cowok?” Tawaku menggema dan langsung diperintahkan
untuk diam oleh Reyna. Aku langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangan.
Setelah
mengontrol diri, aku pun bertanya, “Siapa sih? Jangan-jangan satu les sama
kita, ya?” Dengan pipi merona merah, Reyna menjawab, “Bukan Cuma satu les, tapi
satu kelas di sini. Dimas, Run. Dimas yang…” Kata-kata Reyna hilang. Mataku
kembali melebar, rahangku kaku seperti tak mau ada satu kata pun yang keluar
dari mulutku, aku menelan ludah. Belum selesai kaget dengan cerita Reyna,
dering sms menggetarkan bagian saku celanaku. Ada sms.
Dari:
Dimas
“Run,
les gak? Anak pinter mah les lah pasti haha. Gue otw nih”
Aku
masukkan telepon genggamku kembali, menatap Reyna dengan senyum tipis yang aku
buat sebagus mungkin. Perasaanku tidak keruan. Kata-kata Reyna tidak bisa lagi
kudengar, tergantikan oleh suara hati yang merasa bersalah.
Reyna,
aku mecoba mengikuti bisikan hati, aku sudah mulai melihat sekeliling. Aku
memang tidak menemukan, tapi ada yang datang padaku. Dimas yang datang. Rey,
aku harap ini tidak akan jadi masalah yang besar, kataku dalam hati.
(BERSAMBUNG)
Komentar
Posting Komentar