Langsung ke konten utama

PART VI



              “Run, sekali lagi, gue minta maaf ya. Gue harusnya lebih peka. Gue terlalu bersikap seperti anak kecil. Dan gue harap kita bertiga bisa menjadi sahabat selamanya, Run.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Reyna saat kami sedang melihat keluar jendela angkutan kota.
            Aku terkejut dengan ucapan Reyna. “Gue kan udah maafin lo, Rey. Iya kita harus terus bareng-bareng ya, harus selalu mendukung satu sama lain. Karena gue pun yakin, gue akan selalu butuh lo dan Deka. Jadi, semoga saja ini adalah ujian untuk kita agar lebih mengerti keadaan masing-masing.” Terlihat Reyna senyum kepadaku, tapi seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Semoga perasaanku ini salah.

  •   

            Bunyi pintu masuk tempat les yang khas membuat Mbak Mey, salah satu CS, menatap kami. Dia menyunggingkan senyum yang kami balas dengan sapaan. “Halo, Mbak Mey!” MAtaku langsung menghadap papan jadwal. Matematika dan Kimia. “Bagus,” pikirku. Hanya saja masih ada yang mengganjal sejak momen permohonanku kepada Dimas.
            “He, kalian. Deka sudah ke atas, tuh.” Kami mengangguk dan mengacungkan jempol. Setelahnya, kami sudah berada di tangga saat melihat Deka turun dengan tergesa-gesa.
            “Lo kenapa, Ka?” tanya Reyna, yang langsung aku setujui dengan anggukan mantap. Wajahnya menampakkan kebingungan, matanya menghindar dari tatapan kami berdua. Ada apa sebenarnya dengan Deka?
            “Eng…Enggak, Rey, Run. Emm gimana kalau kita cari makan dulu? Kalian belum makan, kan? Ayo kita beli burger di depan,” kata Deka seperti mengalihkan topik. Aku sungguh ingin tahu apa yang sedang Deka sembunyikan.
            Beberapa teman mulai berdatangan dan memenuhi tangga. Kami memutuskan mengikuti saran Deka untuk mencari makan. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa kami sangat lapar setelah dianggap ‘mampu’ untuk memasukkan semua materi pelajaran di sekolah. Aku sempat berpikir membahas ‘keajaiban’ sekolah di Indonesia ini dengan kedua sahabatku.
            Burger dengan keju berlapis serta daging sapi yang tebal sukses membuat perut kami terasa sangat kenyang. Dua puluh menit kemudian, kami sudah berjalan kembali ke tempat les. Aku melihat Deka dan Reyna jalan berdampingan, seperti membicarakan sesuatu. Tetapi, saat aku mendekat, mereka berhenti berbicara dan terus menatap lurus jalanan.
            Aku membuang pikiran negatif apapun dan kembali berpikir tentang Reyna dan Dimas. Tidak terasa kami sudah berada di dalam kelas. Seperti biasa, aku dan kedua sahabatku mengambil tempat di belakang. Duduk di belakang itu lebih santai karena tidak bertatapan langsung dengan guru yang mengajar. Aku lebih senang duduk di belakang karena bisa lebih serius.
            Tetapi, apa yang aku lihat ini akan menambah masalah dalam hidupku. Aku, Deka, dan Reyna benar-benar kaget ada buket bunga di meja yang biasa aku tempati. Aku menoleh ke arah Deka yang terlihat gusar. Aku berpikir mungkin itu punya orang lain.
            Saat aku melihat kartu yang diselipkan, ada namaku! Siapa yang memberiku buket bunga ini? Apakah anak kelas ini? Dimas? Apa mungkin? Dia belum datang. Sesaat setelah aku memikirkan kemungkinan Dimas yang menaruh bunga, dia datang dan memilih duduk di depanku. Aku melihat mukanya yang heran melihat bunga di mejaku. Pikiranku semakin kacau.
            Guru Matematika favoritku akhirnya datang. Baru saja aku ingin bergembira ketika ingatanku kembali bahwa akan ada hal baru hari ini.
            “Iya, selamat sore. Pembahasan hari ini adalah tentang peluang. Seperti biasa, silakan buat kelompok untuk diskusi tentang kasus yang akan saya bagikan.” Kalimat guru tersebut adalah kalimat yang paling aku sukai, karena kasus adalah hal yang menantang, juga karena aku bisa diskusi dengan Dimas. Tetapi, sekarang aku merasa malas.
            Dimas yang duduk di depanku, langsung menoleh ke belakang. Perasaanku campur aduk ketika tatapannya berhenti pada Reyna. Sedih, kaget, senang, aku tidak tahu perasaan apa ini.
            “Rey, mau bareng gue?” Reyna yang juga terlihat kaget, memberanikan diri untuk melihatku seperti meminta persetujuan. Aku mengangguk dan memberikan senyum terbaikku di saat seperti itu.
            Akhirnya kepala gadis yang terkenal sibuk ini pun mengangguk ragu. Dia maju ke depan ke sebelah Dimas. Apa maksudnya? Dimas sama sekali tidak menggubrisku, setidaknya menunjukkan sedikit senyum. Aku mencoba menghilangkan pikiran macam-macam. Deka yang ada di sebelahku mengagetkanku seperti biasa, kali ini aku sangat kaget.
            “Hehe maaf, Run, lagian kenapa bengong? Sama gue, yuk!” Seringai khas Deka membuatku tidak ingin diskusi, sama sekali. Tetapi aku berusaha bersikap dewasa dan menyetujui sekelompok dengan Deka.
            Sesekali aku melihat ke depan, seperti merasa takut akan terjadi sesuatu. Dengan cepat aku gelengkan kepala karena pikiranku yang sudah berlebihan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, semuanya seakan berhenti, hanya aku, Reyna, dan Dimas yang bergerak. Sungguh aku merasa kesal terhadap diriku sendiri.
            Kasus yang seharusnya menyenangkan ini terlihat sangat membosankan. Saat bel panjang berbunyi, aku bergegas membereskan buku, dan berkata singkat kepada Deka dan Reyna, “Gue harus pulang, ada urusan. Bye.” Aku melangkah keluar, sambil membawa buket bunga misterius itu.

  •  

            “Gue harus bilang sesuatu yang penting,” Deka membuka pembicaraan dengan Dimas dan Reyna di salah satu rumah makan dekat tempat les.
            “Kenapa, Ka?” kata Reyna. Mukanya menunjukkan bahwa dia serius untuk mendengarkan.
            “Dim, gue rasa lo enggak bisa menguji Runy dengan cara seperti ini,” kata Deka menatap Dimas. Dimas yang sedari tadi melamun langsung menengadahkan kepala, wajahnya terlihat cemas.
            “Ka, maksud lo apa? Jangan buat gue tambah cemas, tadi gue merasa bersalah banget sama Runy,” balas Dimas. Hatinya tidak bisa menerima bahwa dia tadi telah mengecewakan Runy.
          Deka menyatukan tangannya, menganggap informasi ini sangat penting dan fatal. Lalu matanya bergantian melihat Reyna dan Dimas. “Gama suka sama Runy. Buket bunga itu dari dia.”
            Napas Dimas tertahan, Reyna menutup mulutnya.
(BERSAMBUNG)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

99 Cahaya di Langit Eropa Part 1 (Film)

Setelah baca novel karya Hanum Rais setahun yang lalu, akhirnya film itu muncul. 99 Cahaya di Langit Eropa akhirnya dijadikan film! Seneng banget lah dan hari pertama main, langsung pengen nonton, tapi baru kesampean kemarin, 8 Desember 2013 bareng temen-temen XI IPA 2 :D Gue mau review film 99 Cahaya di Langit Eropa ya, mohon maaf yang belum nonton, diliat dulu review-nya juga boleh hehe.             Hanum yang ikut dengan suaminya, Rangga--yang melanjutkan studinya di Wina--sempat merasa bosan. Hanum ingin pulang ke Indonesia, tetapi lambat laun, dengan orang dan lingkungan yang baru dikenalnya, seketika Hanum jatuh cinta terhadap Eropa! Semua berawal dari Hanum mengikuti kursus Bahasa Jerman. Dia bertemu seorang wanita berhijab yang ternyata bernama Fatma Pasha. Singkat cerita, Hanum banyak belajar dari seorang Fatma. Pelajaran paling berharga, yang membuat Hanum jatuh cinta terhadap Eropa adalah, ternyata banyak sekali rah...

Tepat 17 Tahun

Bismillahirrahmanirrahim.          Bismillah mulai hari ini, 26 Juli 2014, lebih mendekatkan diri padaNya. Gue tahu ini kewajiban, gue tahu ini akan jadi pertanggungjawaban Ayah di akhirat kelak. Ilmu yang gue sekarang punya, masih kurang. Semoga dengan keputusan gue ini (eh bukan keputusan, ini kesadaran gue akan kewajiban dari Dia kepada seluruh muslimah), akan banyak hikmah yang kelak gue dapat.          Teman-teman yang sudah mendorong gue terus, yang sudah mencontohkan, yang udah berhasil menyindir dengan segala cara (jahat ya wkwk), yang enggak ada bosan-bosannya mengingatkan gue dan nanyain terus kapan mulai, terima kasih banyak! Tanpa peran kalian, mungkin hanya ada sebatas niat tanpa implementasi. Semoga kebaikan kalian dibalas dengan yang lebih baik dari Yang Maha Pemberi Nikmat. Aamiin.          Dan ini yang baru gue inget! Gue lahir di Bogor, 7...

INAUGURASI MAXIMUSE #Magangers Batch VI Kompas Muda

     Yeah! Harus nulis lagi, berarti ada pengalaman baru lagi dari gue. Tanggal 11 Juli kemarin, MAXIMUSE atau batch gue di Kompas Muda, melaksanakan inaugurasi. Inaugurasi ini bukan pertemuan terakhir kita, hanya simbol bahwa Batch VI sudah menjadi keluarga besar Kompas! Hari yang susah buat dilupain, 11 Juli 2014. Hebohnya udah mulai dari pagi. Eh, malahan seminggu sebelumnya. Inget gak kita ribut nanya kostum apa yang mau dipake? Inget gak sehari sebelumnya kita, para perempuan bikin grup buat ngomongin catokan, hairspray, dan kawan-kawan, gara-gara gak mau ganggu kalian para laki-laki di grup MAXIMUSE? Inget gak waktu hari H kita pusing dandan di toilet, pusing mikirin pakai high heels atau flat shoes ? Inget gak para laki-laki, bingung jas dan kemeja serta dasi yang mau dipake? But, honestly, pada hari Jumat tanggal 11 Juli 2014, kita sudah tampil cantik dan ganteng kok hahaha. Hari itu, Magangers Batch V a.k.a Creafizoth udah keren banget bik...