“Run,
sekali lagi, gue minta maaf ya. Gue harusnya lebih peka. Gue terlalu bersikap
seperti anak kecil. Dan gue harap kita bertiga bisa menjadi sahabat selamanya,
Run.” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Reyna saat kami sedang
melihat keluar jendela angkutan kota.
Aku terkejut dengan ucapan Reyna. “Gue
kan udah maafin lo, Rey. Iya kita harus terus bareng-bareng ya, harus selalu
mendukung satu sama lain. Karena gue pun yakin, gue akan selalu butuh lo dan
Deka. Jadi, semoga saja ini adalah ujian untuk kita agar lebih mengerti keadaan
masing-masing.” Terlihat Reyna senyum kepadaku, tapi seperti ada sesuatu yang
disembunyikannya. Semoga perasaanku ini salah.
Bunyi pintu masuk tempat les yang
khas membuat Mbak Mey, salah satu CS, menatap kami. Dia menyunggingkan senyum
yang kami balas dengan sapaan. “Halo, Mbak Mey!” MAtaku langsung menghadap
papan jadwal. Matematika dan Kimia. “Bagus,” pikirku. Hanya saja masih ada yang
mengganjal sejak momen permohonanku kepada Dimas.
“He, kalian. Deka sudah ke atas,
tuh.” Kami mengangguk dan mengacungkan jempol. Setelahnya, kami sudah berada di
tangga saat melihat Deka turun dengan tergesa-gesa.
“Lo kenapa, Ka?” tanya Reyna, yang
langsung aku setujui dengan anggukan mantap. Wajahnya menampakkan kebingungan,
matanya menghindar dari tatapan kami berdua. Ada apa sebenarnya dengan Deka?
“Eng…Enggak, Rey, Run. Emm gimana
kalau kita cari makan dulu? Kalian belum makan, kan? Ayo kita beli burger di
depan,” kata Deka seperti mengalihkan topik. Aku sungguh ingin tahu apa yang
sedang Deka sembunyikan.
Beberapa teman mulai berdatangan dan
memenuhi tangga. Kami memutuskan mengikuti saran Deka untuk mencari makan. Ya,
tidak bisa dipungkiri bahwa kami sangat lapar setelah dianggap ‘mampu’ untuk
memasukkan semua materi pelajaran di sekolah. Aku sempat berpikir membahas ‘keajaiban’
sekolah di Indonesia ini dengan kedua sahabatku.
Burger dengan keju berlapis serta
daging sapi yang tebal sukses membuat perut kami terasa sangat kenyang. Dua
puluh menit kemudian, kami sudah berjalan kembali ke tempat les. Aku melihat
Deka dan Reyna jalan berdampingan, seperti membicarakan sesuatu. Tetapi, saat
aku mendekat, mereka berhenti berbicara dan terus menatap lurus jalanan.
Aku membuang pikiran negatif apapun
dan kembali berpikir tentang Reyna dan Dimas. Tidak terasa kami sudah berada di
dalam kelas. Seperti biasa, aku dan kedua sahabatku mengambil tempat di
belakang. Duduk di belakang itu lebih santai karena tidak bertatapan langsung
dengan guru yang mengajar. Aku lebih senang duduk di belakang karena bisa lebih
serius.
Tetapi, apa yang aku lihat ini akan
menambah masalah dalam hidupku. Aku, Deka, dan Reyna benar-benar kaget ada
buket bunga di meja yang biasa aku tempati. Aku menoleh ke arah Deka yang
terlihat gusar. Aku berpikir mungkin itu punya orang lain.
Saat aku melihat kartu yang
diselipkan, ada namaku! Siapa yang memberiku buket bunga ini? Apakah anak kelas
ini? Dimas? Apa mungkin? Dia belum datang. Sesaat setelah aku memikirkan
kemungkinan Dimas yang menaruh bunga, dia datang dan memilih duduk di depanku.
Aku melihat mukanya yang heran melihat bunga di mejaku. Pikiranku semakin
kacau.
Guru Matematika favoritku akhirnya
datang. Baru saja aku ingin bergembira ketika ingatanku kembali bahwa akan ada hal
baru hari ini.
“Iya, selamat sore. Pembahasan hari
ini adalah tentang peluang. Seperti biasa, silakan buat kelompok untuk diskusi tentang
kasus yang akan saya bagikan.” Kalimat guru tersebut adalah kalimat yang paling
aku sukai, karena kasus adalah hal yang menantang, juga karena aku bisa diskusi
dengan Dimas. Tetapi, sekarang aku merasa malas.
Dimas yang duduk di depanku,
langsung menoleh ke belakang. Perasaanku campur aduk ketika tatapannya berhenti
pada Reyna. Sedih, kaget, senang, aku tidak tahu perasaan apa ini.
“Rey, mau bareng gue?” Reyna yang
juga terlihat kaget, memberanikan diri untuk melihatku seperti meminta
persetujuan. Aku mengangguk dan memberikan senyum terbaikku di saat seperti
itu.
Akhirnya kepala gadis yang terkenal
sibuk ini pun mengangguk ragu. Dia maju ke depan ke sebelah Dimas. Apa
maksudnya? Dimas sama sekali tidak menggubrisku, setidaknya menunjukkan sedikit
senyum. Aku mencoba menghilangkan pikiran macam-macam. Deka yang ada di
sebelahku mengagetkanku seperti biasa, kali ini aku sangat kaget.
“Hehe maaf, Run, lagian kenapa
bengong? Sama gue, yuk!” Seringai khas Deka membuatku tidak ingin diskusi, sama
sekali. Tetapi aku berusaha bersikap dewasa dan menyetujui sekelompok dengan
Deka.
Sesekali aku melihat ke depan,
seperti merasa takut akan terjadi sesuatu. Dengan cepat aku gelengkan kepala
karena pikiranku yang sudah berlebihan. Waktu terasa berjalan sangat lambat,
semuanya seakan berhenti, hanya aku, Reyna, dan Dimas yang bergerak. Sungguh
aku merasa kesal terhadap diriku sendiri.
Kasus yang seharusnya menyenangkan
ini terlihat sangat membosankan. Saat bel panjang berbunyi, aku bergegas
membereskan buku, dan berkata singkat kepada Deka dan Reyna, “Gue harus pulang,
ada urusan. Bye.” Aku melangkah
keluar, sambil membawa buket bunga misterius itu.
“Gue harus bilang sesuatu yang
penting,” Deka membuka pembicaraan dengan Dimas dan Reyna di salah satu rumah
makan dekat tempat les.
“Kenapa, Ka?” kata Reyna. Mukanya
menunjukkan bahwa dia serius untuk mendengarkan.
“Dim, gue rasa lo enggak bisa
menguji Runy dengan cara seperti ini,” kata Deka menatap Dimas. Dimas yang
sedari tadi melamun langsung menengadahkan kepala, wajahnya terlihat cemas.
“Ka, maksud lo apa? Jangan buat gue
tambah cemas, tadi gue merasa bersalah banget sama Runy,” balas Dimas. Hatinya
tidak bisa menerima bahwa dia tadi telah mengecewakan Runy.
Deka
menyatukan tangannya, menganggap informasi ini sangat penting dan fatal. Lalu
matanya bergantian melihat Reyna dan Dimas. “Gama suka sama Runy. Buket bunga
itu dari dia.”
Napas Dimas tertahan, Reyna menutup
mulutnya.
(BERSAMBUNG)
Komentar
Posting Komentar