Tentang
diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah gudangnya salah.
Begitu juga gue. Tapi, penting untuk kita semua untuk mengenali diri sendiri,
kelebihan maupun kekurangan. Setiap orang memiliki latar belakang berbeda
sehingga berbeda pula cara berpikirnya. Hanya orang yang open minded yang bisa menerima pemikiran berbeda. Mungkin tulisan
ini akan membuat beberapa orang memilih untuk meninggalkan tulisan yang ‘asal’
ini. Mungkin juga ada banyak orang yang banting setir jadi netizen yang suka berkomentar tanpa ada arah dan tujuan. Atau
mungkin juga ada segelintir orang yang akan mengiyakan tulisan ini. Pahami
bahwa blog adalah wadah mencurahkan
isi hati dan pikiran. Ini bukan rubrik opini Kompas yang harus melalui berbagai
seleksi agar dapat diterima semua pembacanya. Tulisan ini bisa jadi bersifat
subjektif karena ini murni pendapat saya.
Pertama, gue paling tidak suka ada orang
yang mengklasifikasikan orang dengan sebutan “Ah, lo kapitalis banget. Mikir
diri sendiri aja terus sana.” Atau yang mungkin pernah dibilang, “Wah, lo murah
hati banget ya, benih-benih warga sosialis nih.” Atau sebutan lainnya. Ya,
terus kenapa? Kenapa kalau ada orang dengan watak yang emang ‘self-oriented’? Gini, gue termasuk orang
yang sering banget dibilang kapitalis atau apapun yang berhubungan dengan
keuntungan pribadi. Dengan penuh keikhlasan, gue harus mengakuinya. Tapi, mohon
maaf untuk semua yang pernah menyebut gue dengan panggilan itu, tidak semua
orang yang mementingkan diri sendiri terus melupakan kebersamaan. Pada
hakikatnya, semua orang memiliki keduanya. Gue adalah orang yang memikirkan
berbagai faktor kalau ingin melakukan sesuatu, yaitu:
1. Kebermanfaatan.
Misalnya, gue pasti selalu memikirkan seberapa besar manfaat gue jika mengikuti
acara tersebut? Atau seberapa banyak manfaat yang akan gue dapatkan jika gue
temenan sama ini orang? Mungkin terlihat kayak “Woi, temenan sama siapa aja kali!” atau “Hargain dong acaranya udah dari jauh2 hari jadwalnya” Well, menurut
kalian gimana respon gue kalo udah ada yang ngomporin dan jadi provokator kayak
gitu? Gue memilih diam daripada masalah jadi tambah lebar. Wahai kalian, tidak
bisakah kalian menanyakan dulu kenapa orang itu tidak bisa datang acara? Kali
aja memang dia lagi ada keperluan lain, atau ada kepentingan lain. Terus
masalah teman, hey kalian jangan terlalu naif. Sekecil apapun itu, pasti kalian
juga pernah memikirkan seberapa besar manfaat orang ini jika berteman dengan
kita. Bukan, bukan memanfaatkan orang lain, tapi bukankah kita memang lagi
sedang di zaman yang apa-apanya serba kolaborasi? Please, jangan pandang kata ‘manfaat’
dengan pandangan negatif. Justru, lebih baik begitu daripada kalian harus
memiliki banyak muka supaya bisa temenan dengan siapapun.
2. Keterlibatan.
Jika tidak bisa melihat kebermanfaatan, gue adalah tipe orang yang melihat apakah
gue bisa berkontribusi besar di acara tersebut. Yap, keterlibatan gue dalam
suatu organisasi/acara atau apapun itu menjadi poin penting dalam hidup gue. Oke,
mulai disini ada lagi yang mengkritisi dengan “Jadi, kalo bukan lu yang jadi panitia, lu lepas tangan?” Nah, yang
seperti ini nih yang melahirkan percikan amarah. Sekarang gini, kalo kalian
jadi panitia di dalam suatu acara, secara tidak langsung kalian memiliki amanah
yang harus diemban. Jadi, wajar bagi kalian yang bekerja keras untuk
menyukseskan acara. Tapi, sekarang coba pikirkan kalau kalian bukan menjadi
sesuatu yang penting dalam suatu acara, apa keinginan kalian untuk membantu
luntur begitu saja? Jawabannya tentu tidak. Gue sebagai orang yang
self-oriented juga akan berpikir untuk membantu jika gue bisa, kok. Tidak serta
merta cuek dengan acara itu apalagi milik bersama. Tapi, sekali lagi bahwa
amanah tidak akan pernah salah pundak, dan bagi mereka yang tidak memiliki
amanah di satu tempat, mungkin saja memiliki amanah di tempat lain. Jadi,
berhenti untuk terus men-judge perbuatan orang lain tanpa tahu dulu alasannya.
Kita ini makhluk sosial, sudah sepatutnya tolong-menolong, tapi jika memang
sedang ada prioritas yang lebih utama di lain ranah, tolong hargailah.
Kedua, masalah privasi. Siapa yang belum tahu
seberapa pentingnya privasi? Kita ini diciptakan dengan wujud dan tempaan yang
berbeda-beda, jadi pasti setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Lalu,
kenapa orang-orang yang merasa dekat dengan orang lain, mayoritas ingin tahu
segala keluh kesah, gundah gulana, masalah, apapun tentang hidup orang lain
tersebut yang bisa disebut sahabat? Gue adalah tipe pemilih dan sahabat adalah
orang terbaik yang bisa gue percaya jika gue butuh tempat cerita. Gue bahagia
karena sahabat-sahabat gue tidak pernah menuntut apa-apa dari gue. Tapi, pasti
ada aja orang yang selalu Knowing Every
Particular Object (KEPO) dengan masalah orang lain. Kenapa? Kalian mengerti
privasi kan? Walaupun kalian bisa dibilang sedekat urat nadi juga jika belum
ada keterikatan keluarga atau suami-istri, tidak berhak seorangpun
mengintervensi orang lain untuk menceritakan privasinya kepada kalian. Ingat,
walaupun sahabat dekat pun. Gini, bukankah sebaiknya kalian juga menyelesaikan
masalah kalian masing-masing dulu? Kita ini di dunia sebentar loh, kawan.
Apakah dengan KEPO dengan masalah orang lain, masalah kalian yang notabene
tanggung jawab duniawi kalian akan selesai? Tidak, guys. Itulah mengapa gue tidak suka dengan orang yang KEPO. Karena
menurut gue, privasi adalah batas kehidupan gue dengan orang lain yang hanya
gue, keluarga, dan Allah yang boleh tahu.
Ketiga adalah masalah banyaknya orang yang
mengartikan introvert dan extrovert dengan salah kaprah. Katanya introvert itu pendiam lah, individualis
lah, tidak terbuka, dan sebagainya. Lalu, jika extrovert itu yang rame, terbuka, easy to mingle, dan sebagainya.
Lagi-lagi gue harus mengatakan bahwa pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Yang
dimaksud introvert dan extrovert adalah bagaimana seseorang
memilih cara untuk menyelesaikan masalahnya. Gue adalah orang yang bisa
dikategorikan sebagai introvert. Apa
sih introvert? Artinya adalah
seseorang memilih untuk menyelesaikan masalah dari dalam dirinya. Buktinya apa?
Gue adalah orang yang memiliki internal
motivation lebih besar dibandingkan external
motivation. Terkadang, banyak orang yang semangat ikut seminar dan
sebagainya yang mendatangkan orang sukses dengan alasan agar termotivasi.
Jujur, gue bukan orang yang dengan mudah terpengaruh dengan orang lain, sehebat
apapun. Jika motivasi dari dalam diri tidak kuat, sepertinya mustahil hal itu
akan saya lakukan. Tetapi apa yang saya pertimbangkan selanjutnya adalah
mengenai perilaku atau etika. Jika orang tersebut memiliki etika yang baik,
maka bisa jadi orang seperti gue dengan mudah terkesima dan mengagumi. Melihat
dan observasi lebih dalam tentang karakter orang lain, itulah gue. Berbeda
dengan extrovert yang lebih nyaman
untuk meluapkan masalahnya kepada orang lain untuk bisa menetralkan perasaan
gundahnya. Lagi-lagi, setiap orang tidak hanya memiliki satu, tetapi keduanya
ada di dalam diri manusia, hanya saja ada yang mendominasi.
Intinya dari segelintir tulisan gue ini yang mungkin
akan menambah postingan lagi nanti, jangan pernah memaksakan kehendak orang
lain. Ibaratnya, kita yang sedang menjalani hidup, coba untuk menyelesaikan apa
yang sudah dimulai. Kita sudah lahir dan akan berakhir dengan kematian. Maka,
di rentang waktu itu mari kita tingkatkan kualitas diri dan bermanfaat bagi
orang lain. Cita-cita gue sederhana, menjadi bermanfaat bagi orang lain dengan
menjadi pembicara di berbagai negara. Bukan untuk sombong, tetapi untuk
memotivasi bagi orang-orang yang memang memiliki internal motivation yang
kurang. Lalu, apakah kalian masih mau menyebut gue dengan kapitalis? Individualis?
Ya, semua terserah kalian. Toh, apa yang kalian ucapkan bukan tanggung jawab
gue. Be positive!
Komentar
Posting Komentar