Langsung ke konten utama

Balasan 'Pesan dari Amuba di Angkasa'



Ingatkah pada saat awal perkenalan?
Oh, bukan
Mungkin awal kedekatan
Ya, H+12 ulang tahunku

          Sebenarnya aku pun ingin menulis tentang dirimu. Tetapi berhubung kau sudah mengirimkan pesan dari tempat yang jauh (re: Angkasa), maka aku disini akan membalas pesanmu. Tapi, tenang, aku masih di bumi.

          Aku tidak tahu bagaimana sampai akhirnya kita bisa bertukar cerita hampir setiap hari. Hm, mungkin lebih banyak kau yang bercerita. Aku tetap pada posisiku, menjadi pendengar.

          Ingin rasanya tertawa mengingat hari itu. Pada awal pertemuan saja, kau sudah membuatku kesal. Namun, aku catat itu sebagai sebuah kejujuran. Terima kasih sudah menjadi sosok yang mengajariku tentang kejujuran. Kalau aku bicara padamu saat ini, mungkin reaksi menyebalkanmu akan menjawab, “Iya lah. Aku mah mau jadi apa adanya aja.”

          Sejak hari itu, aku merasa kita semakin sering bicara. Entah, tapi semakin sering kita berbincang, aku merasa sudah mengenal lama dirimu. Sikapmu tidak jarang membuat jengkel semua orang, apalagi aku. Iya, aku benar-benar tidak pernah menyangka akan punya sobat sepertimu.

          Waktu itu, aku lupa tepatnya tanggal berapa. Tapi, kau sempat menyinggung blog milikku dan kesukaanku pada Stand Up Comedy. Dari situ, aku sudah melakukan penilaian yang berbeda terhadap dirimu. Alasan pertama adalah karena ternyata kau juga menyukai dunia tulis-menulis. Menurutku, itu merupakan poin tambah untuk seorang laki-laki, tapi mengapa kau begitu merasa malu mengakui kalau suka menulis? Hm, cara pandang kita memang berbeda. Cara pandang berbeda inilah yang menciptakan topik obrolan yang tidak pernah membosankan. Katamu, “Semakin berbeda cara pandang kita, semakin menarik.” Ya, kurang lebih seperti itu yang pernah kau katakan.

          “Suatu hari aku ingin menjadi alasan orang tersenyum.” Kalimat ini juga beberapa kali kamu ucapkan. Entah kamu berharap pada bibir siapa senyum itu mengembang, tetapi bolehkah aku izin untuk tersenyum lebih dulu? Tersenyum karena ada orang yang berani memperhatikanku dan tanpa dosa menyampaikan kalau aku dan ‘orang itu’ mempunyai kesamaan sifat. Iya, siapa lagi kalau bukan sosok yang sedang aku ceritakan di tulisan ini.

          Sampailah pada minggu-minggu itu. Minggu-minggu penuh tanda tanya di dalam otakku. Jujur, aku bukan tipe orang yang peka terhadap hal-hal yang bersifat implisit, termasuk semua tingkahmu yang kuanggap implisit. Rasanya campur aduk karena aku mulai merasa nyaman untuk bercengkrama denganmu. Hm. Ketika mulutmu diam seribu bahasa dan tidak ada tanda-tanda sikapmu kembali ke awal, setiap malam pikiranku dipenuhi oleh berbagai spekulasi yang pada akhirnya hanya membuatku capek. “Ah, sudahlah, gue diamkan saja dia, toh gue juga tidak pernah berpikir serumit ini sebelum gue kenal dia.” Aku berkata seperti itu, dulu. Ternyata tidak ada yang bisa berbohong kecuali mulut, memang. Aku ingkar terhadap pernyataanku itu, otak ini kembali bekerja memikirkan sikapmu yang aneh.

          Percaya atau tidak, beberapa status di media sosial itu kutujukan padamu. Orang yang baru kukenal, lalu saat tiba-tiba sikapnya berubah, kepala ini rasanya hanya berisi “Kenapa dia diemin gue?” Juara! Aku mau tanya, rumus apa yang kau pakai sampai membuatku seperti itu? Aku ingin tahu!

          Jangan terlalu banyak minta maaf. Kau tidak harus mendengar semua ceritaku, begitupun aku tidak harus mendengar semua ceritamu. Kalau kau bilang sudah merasa nyaman, begitu pula aku. Lalu, apalagi yang harus dilengkapi? Untuk apa kau meminta maaf? Intensitas perbincangan kita memang tidak akan sesering seperti satu tahun ke belakang, tetapi masing-masing dari kita telah bersepakat untuk tidak berubah, kan? 

          Aku juga ingin meminta maaf. Maaf karena belum bisa menjadi seseorang yang peka, maaf karena selalu merepotkanmu, maaf tidak banyak cerita kepadamu, maaf karena belum bisa melakukan apa yang kau harapkan. Dan, maaf karena harus cepat pergi.

          Kau tidak harus berubah menjadi orang lain. Kau salah kalau menganggap dirimu belum mengisi waktuku dengan kenangan yang bisa kusimpan, karena nyatanya sudah banyak kenangan yang bisa kusimpan dengan apik. Ah, kita memang banyak salah paham. Tapi, kenapa aku selalu merasa bisa bicara apa saja walaupun itu menunjukkan sisi negatifku kepadamu?

          Tuhan pasti telah menggariskan pertemuan ini. Entah untuk sementara lalu terlupakan, atau untuk selamanya. Aku berharap yang kedua, tidak tahu kalau dirimu.

          Terima kasih telah mengajarkanku akan pentingnya menjadi diri sendiri. Terima kasih telah mengajarkanku menjadi sosok yang setia. Terima kasih telah menunjukkan terlebih dahulu sifat-sifat menyebalkanmu, lalu dilanjutkan dengan banyaknya hal-hal positif dari dirimu. Itu membuatku akan selalu rindu dengan segala tingkah lakumu. Semua ini jujur, belajar darimu, percaya atau tidak.

Aku, mungkin tidak sebaik yang kau kira. Tapi, terima kasih atas besarnya kepercayaan darimu. Balasan atas pesan dari amuba di angkasa ini, tidak akan semewah pesanmu. Balasan ini mungkin sudah tidak lagi membuatmu berlinang, apalagi menangis. Balasan ini adalah segelintir pesan yang mungkin ingin kusampaikan, karena seperti yang sudah kubilang, postingan di blog atau status di media sosial sebelum ini, pernah kutujukan untukmu. Pesan darimu berhasil membuatku menangis. Kenapa senang sekali membuatku menangis? Sudah tercatat dua kali. Bahkan, teman kamarku berlinang saat membaca tulisanmu. “Gue berkaca-kaca bud bacanya, itu karena gue belum tau dia aslinya kan, kalo lu emang harus nangis bud karena udah kenal lama.” (Athi, 2016). Aku hanya ingin bilang bahwa kemampuanmu sendiri lah yang membuatmu tegar dan kuat hingga saat ini. Mungkin, aku hanya pemberi sugesti, peranku tidak terlalu besar, kok.

          Mengenai menjadi sibuk, aku yakin tanpa disuruh pun, kamu akan menjadi orang sibuk. Haha, percayalah. Kamu mempunyai karakter yang baik dan bisa memimpin. Seseorang dengan karakter pemimpin pasti akan terlihat lambat laun. Buktinya sekarang kamu mengawalinya dengan jabatan yang bukan main-main, kan? Aku ikut senang.

          Pantaskan dirimu, maka perempuan yang pantas pula akan disediakan untukmu. Jangan galau lagi, jangan menjadi orang yang overthinking, jangan menyalahi dirimu terus-menerus, jangan ceroboh, dan jangan lupa peka!

          Untuk ‘hadiah’ penutup dariku, itu sudah menjadi keputusanmu seutuhnya. Mau menunggu atau tidak. Atau seperti yang pernah kubilang—yang sampai sekarang kamu juga tak kunjung mengerti—tentang bagaimana kamu harus lebih peka dan melihat sekelilingmu.

          Aku tidak mau sok menasihatimu lagi di akhir perjumpaan. Tapi, kalau butuh tempat bercerita, telinga ini akan selalu siap. Ingat itu. Terima kasih sudah selalu ada. Terima kasih telah mengajarkanku banyak hal, khususnya tentang kejujuran yang bagiku itu sangat mahal. Terima kasih telah menjadi apa adanya dirimu. Terima kasih telah banyak mengingatkanku tentang kebaikan. Terima kasih telah menunjukkan berbagai sifat positifmu, tanpa harus kau ceritakan, tapi aku bisa melihatnya. Terima kasih telah memberiku ‘hadiah’ luar biasa yang bagiku sangat bermakna. Terima kasih telah membuka pandanganku lebih luas lagi. Dan, terima kasih telah mengingatkanku akan begitu berharganya wanita. Mengapa begitu banyak yang kau beri? Ah, semakin susah untuk dilupakan tau!

          Sampai jumpa di lain waktu dan keadaan. Kamu bilang tidak akan menjauh? Aku pegang omonganmu, walaupun aku yakin akan hal itu. Doakan aku juga agar semakin dewasa dan tidak labil—kamu kan sudah lebih tua dariku, dasar kepala dua—agar tidak sombong karena intensitas pertemuan kita tidak sesering satu tahun ke belakang.

          Tidak akan ada yang lebih baik. Kamu tetap kamu. Sosok yang telah mengajarkanku banyak hal, yang orang lain belum tentu bisa melakukannya. Ingat, aku tidak akan pernah menggantikanmu dengan sosok lainnya. Semoga kau pun begitu. Aku lebih bersyukur sudah dipertemukan denganmu dengan segala hal baru yang menyegarkan hari-hariku. Kurasa salah satu alasan terkuat aku betah di Dramaga, adalah segala tingkah lakumu yang menjengkelkan. Kamu benar, lagi-lagi kamu benar. Ini menyadarkanku hal lain, bahwa aku maupun kamu, tidak salah memilih partner bercerita. Terima kasih, wahai satu-satunya makhluk yang berani berkomentar tentang sifatku di awal perjumpaan. Sampai kapanpun, aku tidak akan lupa!

Balasan terakhir:
Aku akan kembali lagi ke Bandung, ke Riung Saluyu
Jangan khawatir
Kau masih berhutang padaku tempat-tempat yang ada di buku Dilan
Dan berhutang untuk mempertemukanku dengan Dilan
Haha
Tapi,
Jangan kamu yang berubah menjadi Dilan
Temani aku bertemu dengan Dilan-ku saja
Mungkin Dilan-Dilan memang hanya ada di Bandung
Aku disini tidak ingin jadi Milea
Tetap akan jadi diriku apa adanya
Seperti yang selalu kamu perlihatkan kepadaku

Lagu-lagu yang menemani:
Slank - Terlalu Manis
Sheila On7 - Pemuja Rahasia
Kang Gary ft Gaeko - Lonely Night
Bandung Inikami Orcheska - Jarak Jauh

29 Juni 2016

17:46

Yang Akan Pergi,
R. A. F. R . M

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelak Tawa dari Beragam Budaya

Viva La Komtung, kawan! Bahagia banget sih ada kontes blog review SUCI 5, jadi gue bisa memaparkan betapa sukanya gue dengan Stand Up Comedy ini. Awal gue suka sama SUCI itu tahun 2011 akhir, dimana SUCI 1 berlangsung, dan entah bagaimana gue langsung jatuh cinta sama SUCI. Gue ikutin terus acara Stand Up Comedy, entah acara tapping atau festival. Nah, yang paling ditunggu, ya, acara SUCI di KompasTV ini. Enggak kerasa, sekarang Season 5 udah kelar, dan enggak nyangka juga, cinta gue terhadap SUCI masih sama seperti 3,5 tahun lalu.             Percaya atau enggak, gue mencatat urutan-urutan komika yang tampil dari episode pertama sampai akhir. Ini gue awali dengan urutan di episode pertama, ya. Dan inilah komika-komika hebat yang bisa masuk ke tahap Show: 1.        Muhamad Tomi (TOMY) 2.        Ichsan Danny (BAIM) 3.        Indra Frimawan (INDRA) 4.        Rizky Ubaidillah (UBAY) 5.        Muhammad Rizki (RIGEN) 6.        Anjas Wira Buana (ANJAS) 7.        Barry

Eco Fun Go! Festival, Meet My New Family!

          Menjadi seorang volunteer Eco Fun Go! Festival adalah pengalaman yang tidak akan saya lupakan. Pandangan saya tentang volunteer menjadi lebih luas. Menjadi volunteer dalam acara besar ini ternyata tidak hanya menambah pengalaman saya, tetapi juga keluarga, informasi, juga motivasi baru. Mungkin terdengar ambisius, tetapi saat ada ‘lowongan’ untuk menjadi volunteer , hati saya tergerak untuk ikut karena sejujurnya jam terbang saya menjadi volunteer sangat minim. “Mungkin, ini kesempatan yang baik,” kata saya dalam hati waktu itu.            Apa yang membuat saya tertarik? Atau apa motivasi saya menjadi volunteer di Eco Fun Go! Festival? Ini adalah pertanyaan klise mungkin, kalau saja diadakan wawancara dari pihak Ecofun Community. Alhamdulillah, mereka sedang menyaring mahasiswa yang tinggal di sekitaran Bogor supaya mudah untuk mengadakan rapat dan segala persiapannya, mengingat hanya punya waktu kurang dari sebulan. Dan, saya termasuk.           Tapi, sa

'What If' Melihat dari Sisi Yang Berbeda dari Orang Lain

 Emang bener ya, kalo sisi yang kita liat beda dari orang lain itu gimana rasanya. Beda gitu kan rasanya, terus jadi minoritas, terus minoritas juga pendukungnya, seperti ditelan bumi. Kenapa ya ide yang terkadang bagus malah ditolak? Alasannya? Keperluan mayoritas. Kesannya tuh jadi kayak "Ini kan punya kita, kenapa denger omongan orang yang malah nurunin kualitas?" Greget banget hahaha. Gue ngeliatnya kok malah jadi semaunya sendiri. Hak nya jadi cuma berat sebelah. Apa mungkin pihak itu belum mengerti, apa itu kerja dalam tim? Entahlah. Gue merasa kerja keras disini tidak berbanding lurus sama hasilnya kelak. Salah gue ya? Gak sih, gue nya aja belum terbiasa. Mungkin ini ujian. Kesenjangan sosial pun masih ada, heran. Diskriminasi pun masih terasa, jujur aja gue gak nyaman sama keadaan sekarang. Mungkin senyum gue itu berarti "sama sekali gak nyaman", makanya gue senyum. Maaf ya ini, tapi kenyataan, sedih gue juga, gak mau sok-sok senyum di depan orang.... Intin