Langsung ke konten utama

Mencari Senyuman



“Jadi, belum ada sponsor yang pasti bisa berpartisipasi di acara kita?” Arinda setengah berteriak, terdengar menggema di ruang 11 IPA 1 yang lengang. Anak-anak sudah pulang sejak pukul 13.30 WITA tadi, sekarang waktu menunjukkan pukul 15.00 WITA. Hening sesaat. Suara Arinda semakin naik. “Karin? Arum? Galuh? Jawab pertanyaan gue!” Pertanyaan Arinda bertubi-tubi. Tiga orang yang disebut namanya oleh Arinda barusan, hanya bisa menggelengkan kepala menjawab pertanyaan sang ketua ekstrakurikuler kewirausahaan di salah satu SMA di Nusa Dua itu.
            “Apa kata pembina nanti? Kalian tahu, Pak Wayan sudah mewanti-wanti dari awal, ekskul kita ini harus usaha lebih keras mendapatkan sponsor, dan…,” Arinda berhenti sejenak. “Acara ulang tahun sekolah kita tinggal satu bulan lagi,” katanya melanjutkan. Matanya berlinang air mata, tangan kanannya mengepal. Ketika hendak menjatuhkan kepalannya ke meja di sampingnya, suara seorang cowok memanggilnya dari arah pintu.
            “Hai In! Masih kumpul nih ceritanya? Gue ikutan ya,” sapa cowok itu, mukanya terlihat kalem. Arinda melengos melihat kedatangan cowok tersebut. “Lo lagi, ngapain sih, Van?” Cowok yang ternyata bernama Revan itu telah duduk di sampingnya. “Hei In, ini kan kelas gue juga, lo gak inget sekelas sama gue? Kalian lagi bicarain apa? Serius banget.”
            Arinda hendak berdiri saat Arum berkata pelan, “Gini, Van. Ekskul kita ini lagi ada masalah. Tentang…,” kata-kata Arum terhenti. Sebelum Arum sempat melanjutkan, Arinda sudah buru-buru duduk lagi dan memotong. “Van, lo tuh bisa nggak sih nggak ngurusin masalah orang? Kayaknya, dari dulu, lo suka banget ngurusin orang lain. Urusin ekskul jurnalistik lo aja dulu.”
Air muka Revan berubah, alisnya menyatu. “In, kenapa sih lo selalu sensi sama gue? Emang gue punya salah sama lo? Dari kelas 10 kita sekelas, gue merasa lo itu jaga jarak sama gue. Tadi kan Arum kan mau cerita, mungkin gue bisa bantu kalian, kan?” Tanpa disadari, ketiga anggota Arinda yang sedari tadi diam, mengangguk cepat. Revan melanjutkan, “Ehm, mungkin ada benarnya juga gue nggak usah tahu masalah kalian, ketua kalian benar, kok. Tapi, kalau emang ada masalah, entah keuangan atau koordinasi, bicarakan baik-baik. Tidak ada senioritas, jabatan itu hanya membedakan tugas kita, bukan membedakan status. Status kita semua masih pelajar dan teman, kan? Apalagi kalau udah menyangkut masalah bisnis, sebisa mungkin hubungan kalian harus erat, saling mendukung. Itu penting. Bukan begitu, Ibu Ketua?” Revan mengakhirinya dengan senyum mengembang ke arah Arinda.
Arinda menahan napas. Kenapa dia tahu masalahnya?Seandainya lo tahu, Van, gue iri banget sama lo.
Revan mengembuskan napas, dilihatnya Arinda tidak bersemangat mendengar nasehatnya yang malah disetujui oleh ketiga temannya. Pandangannya lalu beralih ke ketiga temannya, tersenyum. Setelahnya, Revan memutuskan pamit.
“Oke, guys! Biar kalian enak ngomongnya, gue tinggal dulu ya. Maaf kalau mengganggu.” Sekali lagi, diliriknya Arinda yang masih tidak mau menatap dirinya. Dua tahun lo kayak gini? Gue berharap bisa ngobrol sama lo, In. Sangat berharap.
v   
            Ekstrakurikuler jurnalistik yang diketuai oleh Revan mengadakan  membicarakan konsep acara setiap ekstrakurikuler di perayaan ulang tahun sekolah nanti, yang bisa dijadikan topik di majalah mereka. Rapat selesai pukul 14.30 WITA, Revan tidak lupa memberi semangat kepada para anggotanya, hal yang selalu dilakukannya setiap akhir rapat.
            Sekolah sudah sepi, hanya meninggalkan para OB yang merapikan kelas-kelas. Tiba-tiba, Galuh Pratama, yang juga anggota jurnalistik, telah duduk di samping Revan. “Van, Arinda itu sebenarnya baik, tapi mungkin karena ekskul kewirausahaan lagi ada masalah, dia tadi sensi.” Revan yang sedang merapikan tasnya, langsung berhenti, menoleh. Merasa aneh dengan perkataan Galuh, Revan merubah sikap duduknya menghadap Galuh. “Coba, lo ceritain ke gue. Ada apa sebenernya ekskul lo dan juga… Arinda?” Belum sempat bicara, bel sekolah berbunyi 5 kali, tandanya sekolah harus sudah kosong.
            “Van! Kita harus cepat pulang. Kalau tidak,  Pak Gusti, satpam tergalak di sekolah kita, bisa ngamuk! Ayo! Besok aja gue cerita,” teriak Galuh sambil memeluk ranselnya. Revan hanya mengangguk kecil. Saat berjalan melewati ruang guru, Revan dan Galuh mendengar suara seorang guru seperti sedang memarahi seorang murid. Arinda?
            “Aduh itu Arinda kenapa lagi ya dimarahi Pak Wayan? Aduh pasti gara-gara sponsor,” kata Galuh, suaranya sedikit gemetar. Revan bingung. Sponsor? Kenapa Pak Wayan marah? Semua semakin membuat Revan penasaran. Cowok itu memasang telinganya dengan baik untuk mendengar pembicaraan Pak Wayan dan Arinda.
“….bahwa Bapak sudah bilang kalau sponsor itu tidak gampang. Sekarang bagaimana acara kalian mau sukses? Mana janjimu, Arinda? Hotel dan resto yang katamu akan mensponsori mana? Bapak sebagai pembina merasa belum benar mendidik kamu….” Pak Wayan terus dengan kata-katanya, sementara air mata Arinda menetes satu demi satu. “Saya janji akan berusaha lebih baik untuk acara terbesar ekskul kami, Pak. Mengenai hotel dan resto, saya memang menjanjikan soal The Bay Bali, tetapi saya mendengar bahwa kalau saya tidak kenal orang dalam, kemungkinan dapat sponsor lumayan susah, Pak,” kata Arinda pelan, suaranya bergetar. Dada Pak Wayan yang membusung hampir sama dengan perutnya, terlihat tidak puas dengan jawaban Arinda. “Bapak nggak mau tahu...” Pak Wayan terus melanjutkan, sementara Revan memutuskan pergi dari tempat itu.
In, In. Coba lo cerita sama gue. Gue harusnya ada buat lo di saat-saat kayak gini. Revan berjalan cepat menuju parkiran motor meninggalkan Galuh yang masih sangat khawatir dengan Arinda.
v   
           
           
Hong-Xing
“Selamat malam, disini Hong Xing Resto, ada yang bisa kami bantu?” Terdengar jawaban khas dari seberang sana. Revan terkekeh, lalu menjawab, “Mbak, saya Revan. Masak suara saya belum hapal juga? Bli Nyoman ada?” Pelayan tersebut hanya tertawa kecil dan memanggilkan orang yang dimaksud.
            “Halo, keponakan kesayanganku. Ada apa ini tiba-tiba telpon?” Bli Nyoman menyapa Revan. “Wah, sudah lama Revan tidak tanya kabar The Bay Bali, khususnya Hong Xing. Bagaimana perkembangannya sekarang?” Revan tak kalah senang, sudah lama dia tidak berkunjung ke Hong Xing. “Keadaan disini sudah luar biasa, Van.

The Bay Bali sudah lebih bagus. Kamu masih ingat, main di pantai bareng Om mu ini? Selain Hong Xing yang sudah bagus, Benihana, Bumbu Nusantara, dan De Opera juga nggak kalah keren, Van. Ayo main kesini lah,” kata Bli Nyoman semangat. Setelah mendapat informasi cukup tentang perkembangan The Bay Bali, Revan menyampaikan satu-satunya tujuan menelpon Bli Nyoman. Bli Nyoman mengangguk, antusias dengan apa yang dikatakan keponakannya.

            Satu minggu setelah percakapan Revan dengan pamannya, seperti biasa, Jumat siang setelah sholat Jumat, para murid mendapat waktu istirahat selama 30 menit. Penghuni 11 IPA 1 langsung menyeruak keluar kelas, ada yang ke kantin, ke toilet, maupun ke taman yang luasnya hampir 600 meter persegi. Revan membawa bekalnya keluar kelas saat dilihatnya Arinda sedang duduk di bawah pohon rambutan di taman sekolah, wajahnya murung.    
            “Ekhem.” Hati-hati Revan duduk di sebelah Arinda. Arinda hampir saja meloncat kalau saja dia tidak buru-buru melihat Revan. “Aduh, Van! Jangan ngagetin orang dong!” Revan buru-buru minta maaf. “Iya, maaf ya. Lo kenapa, In? Lo pasti belum makan siang, kan? Nih, cobain deh.” Arinda menoleh ke arah makanan yang ditawarkan padanya, lalu beralih ke Revan. Posisi duduk Arinda berubah menghadap Revan. Revan menyodorkan lebih dekat, ekspresinya meyakinkan Arinda agar mengambil segera.
            
          
            “Van, ini enak banget! Asli ini, beli dimana?” Raut wajah Arinda berubah seketika, mulutnya terus mengulum kue, matanya menatap Revan. Hati Revan tiba-tiba saja lega, lega melihat Arinda tersenyum kepadanya, yang hampir tidak pernah senyum selama dua tahun sekelas dengannya. Baru saja mereka akrab akibat kue yang dibawa Revan, bel berbunyi 3 kali tanda masuk kelas. “Yah, udah masuk. Makasih ya, Van. Besok-besok bawa lagi! Yuk masuk kelas!” Arinda benar-benar terhipnotis kue Revan. Walaupun Revan kecewa karena tidak bisa ngobrol, tapi akhirnya dia tersenyum lebar atas perubahan sikap Arinda terhadapnya. “Hari yang menarik,” kata Revan dalam hati.
            Bel berbunyi 4 kali tanda pulang sekolah, semua murid menuju satu tempat yang sama, yaitu gerbang sekolah. Tetapi, di pintu kelas, ternyata sudah berdiri anak-anak anggota jurnalistik yang sedang membagikan majalah dua mingguan mereka. Arinda pun dapat. Dilihatnya sampul majalah yang rapi dengan judul yang tertera ‘PERSIAPAN ACARA ULANG TAHUN SEKOLAH’, membuat hati Arinda teringat masalah sponsor. Dibalik lagi halamannya, halaman kedua, halaman ketiga, hingga halaman yang memuat artikel anggota jurnalistik yang membuat Arinda tertegun. “The Bay Bali?” bisiknya. Dia baca isinya, lengkap sekali. Tentang letaknya di BTDC Area. Lot C-0, Nusa Dua – Bali, 80363, nomor telpon: +62 361 8948200, nomor fax : +62 361 8948180, hingga hal paling detail tentang makanan di setiap restoran. Lagi-lagi Arinda kaget, karena ada gambar kue yang kemarin dibawa Revan!
“Alah, paling juga temannya yang kasih kue kemarin,” kata Arinda, dia terus melangkah. Entah pikiran apa, akhirnya dia sampai di pantai dan duduk di sana. Arinda melihat sekelilingnya, dia menghirup aroma pantai yang menenangkan, sampai matanya terpaku pada bangunan yang ada di sekelilingnya. The Bay Bali. Arinda tidak sadar bahwa dirinya telah sampai di The Bay Bali! Air muka Arinda kembali murung, dia terus menatap The Bay Bali seakan memohon untuk memberinya sponsor barang sedikit. Arinda belum ingin pulang saat itu, pukul 17.30 WITA.
v   
            Bunyi kamera Revan terdengar beberapa kali, padahal hanya satu objek yang dia ambil, Arinda. Revan sedang berada di Hong Xing bertemu pamannya. Saat bel pulang berbunyi, dia langsung ke The Bay Bali. Perasaan senang, kaget, sedih, bercampur menjadi satu melihat Arinda duduk sendirian di pantai. “Gue harus kesana, gue tahu gimana caranya biar lo senyum lagi, In,” gumam Revan. Selain dua minuman soda, Revan tidak lupa menggunakan ID pers ekstrakurikulernya, supaya bisa membuat alasan jika Arinda bertanya macam-macam. Dengan langkah pasti, Revan menghampiri Arinda. Tangannya menyodorkan minuman ke depan muka gadis itu. Arinda kaget, menoleh ke arah Revan. “Revan?” Revan tersenyum sembari mengambil posisi duduk di sebelah Arinda. “Kok lo disini sih?” tanya Arinda heran, dia mengambil minuman di tangan Revan.
            “Harusnya gue yang nanya kayak gitu. Lo ngapain disini? Gue habis wawancara sama pemilik Hong Xing. Artikel kemarin belum lengkap menurut gue,” Revan menjawab terlalu lengkap. Arinda hanya mengangguk. “Gue… Entahlah. Tadi gue jalan dari sekolah, tiba-tiba aja udah sampai sini. Hebat, kan?” Muka Arinda masih terlipat. “The Bay Bali gimana sih, Van? Ceritain dong!” Arinda buka suara lagi, yang membuat jantung Revan hampir copot. Karena tidak ingin terburu-buru, Revan punya ide lain. “In, kalau besok pulang sekolah, lo siapin proposal sponsor, apapun yang penting untuk mengajukan kerja sama, terus gue anterin kesini, gimana?” Revan menatap Arinda, wajahnya terlihat semakin kalem diguyur sinar matahari yang sebentar lagi kembali ke peraduannya. Mungkin hanya satu masalah yang terlintas di pikiran Arinda sekarang, maka dia tersenyum, dan mengangguk cepat. “Makasih, Van. Untuk kedua kalinya gue bilang makasih sama lo ya, hari yang sama pula.” Arinda tertawa, membuat Revan merasa berhasil membuat mereka ngobrol, lagi. Mereka berdua menghabiskan minuman sambil menikmati sunset, di The Bay Bali.
            Sabtu siang pukul 14.00 WITA, Revan dan Arinda sudah meluncur ke The Bay Bali setelah menyiapkan proposal sponsorship. Tempat parker yang luas, terlihat penuh dengan kendaraan beroda empat. Dengan mengucap basmallah, Arinda dan Revan menuju Hong Xing, salah satu restoran di The Bay Bali. “Jangan lupa, berdoa, semoga dimudahkan Allah, In,” bisik Revan. Arinda berdegup, perasaannya berubah tenang setelah Revan bicara. Langkah Arinda sampai pada lantai restoran mewah itu, Hong Xing. Seperti telah dinaskahi, para pelayan menyambut dengan senyuman paling baik yang mereka punya. Bli Nyoman keluar dari ruangannya, ikut menyambut tamunya. Melihat Revan bersama  tamunya itu, senyum tersungging di wajah Bli Nyoman.
            “Apa saya bisa bertemu dengan pemilik Hong Xing?” tanya Arinda. Seperti sudah hapal, Bli Nyoman menyilakan duduk Arinda dan juga Revan. “Sekarang, ada apa, Nak? Kita kenalan dulu, nama saya Nyoman.” Bli Nyoman masih tersenyum. “Nama saya Arinda dan maksud saya kesini adalah…” Arinda menceritakan maksud dan tujuannya ke Hong Xing sambil menunjukkan proposal sponsorship beserta lampirannya. Bli Nyoman mengangguk beberapa kali, mencerna apa yang dikatakan oleh Arinda. Tanpa disadari, kata-kata itu muncul dari mulut Bli Nyoman. “Oh, kamu yang namanya Arinda?” Revan menjadi tidak tenang dan Arinda mengerutkan kening. Sebelum bertanya lebih lanjut, Bli Nyoman melanjutkan, “Saya dengan senang hati membantu, Nak Arinda. Kenapa musti takut tidak dapat sponsor di The Bay Bali? Mungkin karena kamu minta sponsor ke Hong Xing, kami akan bantu dengan sponsor makanan untuk peserta lomba dan panitia, bagaimana?” Wajah Bli Nyoman sangat meyakinkan, Revan tertawa kecil melihat tingkah pamannya. “Baik, Bli Nyoman. Terima kasih banyak atas bantuannya. Pasti pembina saya senang dengan berita ini. Kalau boleh saya jujur, saya bisa disini karena Revan, teman saya ini meyakinkan saya kalau saya pasti bisa.” Arinda berkata dengan sepenuh hati, senyum mengembang di wajahnya. Suasana hangat menyertai percakapan mereka, Arinda masih terus bersyukur dalam hati.
Gue pasti selalu bantu lo selagi gue mampu, In. Revan berhasil menyelesaikan misinya.
v   
Acara kewirausahaan Arinda yang berjalan hari Sabtu tanggal 26 April 2014 itu sangat sukses, peserta lomba dan panitia sangat bisa dikoordinir dengan baik, semua berjalan sesuai rencana. Arinda masih sibuk mengontrol acara yang sebentar lagi akan ditutup. “Luh, peserta sudah masuk ke lapangan dalam semua? Yang masih makan, disuruh agak cepat, sebentar lagi mau penutupan. Thanks ya!” Galuh mengiyakan, segera bergerak menuju prasmanan Hong-Xing yang masih dipenuhi peserta lomba. Arinda masih bolak-balik. Lima belas menit kemudian, semua sudah dapat kumpul di lapangan dalam, penutupan dimulai. Di koridor kiri dan kanan, sudah siap pasukan berseragam abu-abu, membawa kamera dan note, mereka adalah anggota jurnalistik yang siap meliput setiap kejadian yang terjadi di sekolah. Revan mengacungkan jempol ke arah Arinda yang sudah bisa bernapas lega karena acaranya sukses. Arinda balas mengacungkan jempolnya
Riuh suara anak-anak saat penutupan selesai, berhamburan dari tempat duduk masing-masing, memeluk teman-temannya, terharu. Revan menghampiri Arinda yang masih disoraki anggota-anggotanya. “Gila emang. Ketua kita kalau bukan Inda, pasti nggak akan sesukses ini acaranya. Hebat lo! Kita hebat!” seru Karin yang disetujui oleh yang lain. Pipi Arinda memerah, “Kalian bisa aja deh. Maafin gue ya, yang sebulan terakhir ini sering marah-marah, terutama anak sponsor, Karin, Galuh, dan Arum. Kalian udah tahu sifat gue, suka duka mencari sponsor, pokoknya gue bangga sama kalian semua!” Arinda melebarkan tangannya, mencoba memeluk para anggotanya yang berjumlah 30 orang.
Arinda menatap Revan yang berdiri di belakang mereka. Revan tersenyum dan berkata pelan. “Great job.” Arinda juga berkata pelan, menjawab sambil tertawa. “Thank you.”
Setelah ngobrol asyik di ruang panitia, akhirnya Arinda dan yang lain memutuskan pulang. Waktu menunjukkan pukul 17.15 WITA, “Hari ini sangat menyenangkan” batin Arinda.
Mungkin dia akan lebih bahagia jika dia tahu sesuatu akan terjadi padanya malam ini.
v   
            “In, ada kiriman! Kayaknya buat kamu deh, ada nama kamu soalnya,” kata ibu dari lantai bawah. Arinda baru saja selesai mandi dan berbaring di kasur, terdengar panggilan ibunya dari bawah. Kiriman? Arinda bergegas ke bawah, mendapati kotak berwarna merah muda dihiasi pita ungu, tertera namanya di atas pita tersebut, sangat lucu. “Dari siapa ya?” Arinda membuka pelan kotak merah muda tersebut pelan. Saat dibuka, ada sebuah surat dan beberapa foto dirinya. “Apa ini? Kenapa ada foto gue?” Arinda melanjutkan membongkar. Dilihatnya foto-foto itu, foto dirinya saat berada di pantai The Bay Bali. “Foto gue disana? Kan nggak ada siapa-siapa waktu itu, kecuali….!” Terbersit satu nama di benak Arinda, buru-buru dia buka suratnya, dan benar saja.
            “In, selamat ya, acara lo sukses besar! Itu karena lo nggak pernah mau menyerah di tengah jalan. I am proud of you, In. Hampir dua tahun sekelas, ya? Tapi, gue baru merasa kita sekelas, satu bulan terkahir ini. Jangan marah dulu. Gue seneng banget akhirnya lo terbuka sama gue, semoga sampai nanti terus begitu, ya. By the way, foto lo di pantai itu, nggak sengaja haha. Habis wawancara pemilik Hong-Xing, lihat lo di pantai, lucu juga kalau dilihat. Oh iya, malam ini gue tunggu jam 8 di Hong Xing, ya. See you! –Rev-
            “Van, andai lo tahu, gue nggak pernah berani ngobrol sama lo dari dulu. Gue harus jujur malam ini,harus!” Arinda lari ke kamar, mengambil gaun berwarna toska, dandan seadanya, lalu pamit kepada ibunya. “Wah, 20.30. Semoga bisa sampai sana tepat waktu,” kata Arinda, langkahnya semakin cepat. Jarak rumahnya dengan The Bay Bali tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan mobil, tetapi sepertinya angkutan umum sudah tidak ada yang lewat malam itu. Akhirnya, gadis itu jalan kaki, hingga sampailah di Hong Xing. Napasnya terengah-engah. “In!” Suara Revan terdengar dari meja paling pojok sebelah kanan Arinda. Dilihatnya Revan yang berkemeja biru muda yang dipadu dengan celana bahan dan sepatu hitam, elegan. Arinda menghampiri Revan, duduk tepat di depan Revan.
            Revan memperhatikan Arinda, wajahnya terlihat sedih. “In, lo kenapa? Nggak suka ya kotak dari gue? Atau foto lo jelek? Maaf deh kalau gitu.” Terdengar kekhawatiran di nada suara Revan. “Eh, nggak kok. Fotonya bagus, Van, makasih. Gue cuma mau ngomong aja, penting,” Arinda menjawab, masih dengan air muka sedih. Revan diam, membiarkan Arinda melanjutkan. Pelayan mengantarkan minuman pesanan Revan.
            “Tentang surat yang tadi. Gue mau minta maaf, kalau selama ini, gue nggak pernah ramah sama lo, jarang senyum sama lo, bahkan ngobrol pun termasuk langka. Gue punya alasan, Van. Sebenernya, gue iri sama lo, iri karena lo ngerti bisnis, selalu bisa memberi motivasi sama orang lain, pokoknya lo itu orang hebat. Apalagi setelah gue menjadi ketua ekskul, gue merasa harus bisa mengayomi anggota-anggota gue, gue harus bisa seperti lo, Van. Tapi, gue sadar, setiap orang itu berbeda. Setelah acara gue berjalan sukses, gue baru merasakan bahwa menjadi diri sendiri itu lebih hebat.” Arinda mengakhiri pengakuannya dengan menatap Revan, tersenyum tipis.
            Hening sesaat. Revan masih duduk dalam diam, sampai beberapa menit setelahnya, terdengar suara gaduh di belakang Arinda. “DORRRRR!” Karin, Galuh, Arum, anggota kewirausahaan, juga anggota jurnalistik lainnya sudah berderet di depan Arinda. “Kalian? Kok ada disini? Van, mereka ada disini juga? Kenapa nggak kasihtau?” Arinda sedikit panik, berdoa supaya pengakuannya tadi tidak terdengar oleh teman-temannya. Tapi, terlambat.
            “Ada yang baru bikin pengakuan nih kayaknya,” celetuk Hari, anggota jurnalistik. Arinda salah tingkah, buru-buru dia mengalihkan topik. “Kalian…” Belum sempat melanjutkan, Revan ambil alih.
“Mereka datang kesini karena mereka mau kasih kejutan buat lo, In. Nih, bukti kalau menjadi diri sendiri itu lebih hebat, kan? Banyak yang bisa lo kembangin dari dalam diri lo sendiri.” Arinda hanya bisa tersenyum, air matanya sudah tidak sabar ingin turun. Tiba-tiba saja, Bli Nyoman sudah berada di belakang Arinda, gadis itu kaget saat Bli Nyoman bicara. “Nak Arinda, benar itu yang dikatakan keponakan saya.” Keponakan? “Iya, beliau ini paman gue,” kata Revan seperti bisa membaca pikiran Arinda. Air matanya kini telah turun, cukup untuk membasahi kedua pipinya.
“Revan, lo tuh! Makasih ya, Revan dan Bli Nyoman. Bantuan kalian sangat berarti! I owe you, Van, Bli,” kata Arinda, matanya masih berkaca-kaca. Bli Nyoman menyuruh mereka pesan makanan, malam itu adalah salah satu malam terindah bagi Arinda, juga Revan. Hanya satu yang kurang.
Andai lo tahu, pengakuan lo tadi itu sudah lebih dari cukup, In. Jadi, selama ini lo menjauh dari gue gara-gara itu, kenapa? Lo harus tahu, gue kagum sama lo dari kelas 10. Melihat perjuangan untuk memenuhi semua target lo, kita sama, bukan? Mungkin lebih baik gue simpan semua pertanyaan gue ini. Semoga senyum lo selalu ada setiap hari buat gue, In.
The Bay Bali menjadi tempat terindah malam itu. Sabtu, 26 April 2014.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
www.thebaybali.com
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gelak Tawa dari Beragam Budaya

Viva La Komtung, kawan! Bahagia banget sih ada kontes blog review SUCI 5, jadi gue bisa memaparkan betapa sukanya gue dengan Stand Up Comedy ini. Awal gue suka sama SUCI itu tahun 2011 akhir, dimana SUCI 1 berlangsung, dan entah bagaimana gue langsung jatuh cinta sama SUCI. Gue ikutin terus acara Stand Up Comedy, entah acara tapping atau festival. Nah, yang paling ditunggu, ya, acara SUCI di KompasTV ini. Enggak kerasa, sekarang Season 5 udah kelar, dan enggak nyangka juga, cinta gue terhadap SUCI masih sama seperti 3,5 tahun lalu.             Percaya atau enggak, gue mencatat urutan-urutan komika yang tampil dari episode pertama sampai akhir. Ini gue awali dengan urutan di episode pertama, ya. Dan inilah komika-komika hebat yang bisa masuk ke tahap Show: 1.        Muhamad Tomi (TOMY) 2.        Ichsan Danny (BAIM) 3.        Indra Frimawan (INDRA) 4.        Rizky Ubaidillah (UBAY) 5.        Muhammad Rizki (RIGEN) 6.        Anjas Wira Buana (ANJAS) 7.        Barry

Eco Fun Go! Festival, Meet My New Family!

          Menjadi seorang volunteer Eco Fun Go! Festival adalah pengalaman yang tidak akan saya lupakan. Pandangan saya tentang volunteer menjadi lebih luas. Menjadi volunteer dalam acara besar ini ternyata tidak hanya menambah pengalaman saya, tetapi juga keluarga, informasi, juga motivasi baru. Mungkin terdengar ambisius, tetapi saat ada ‘lowongan’ untuk menjadi volunteer , hati saya tergerak untuk ikut karena sejujurnya jam terbang saya menjadi volunteer sangat minim. “Mungkin, ini kesempatan yang baik,” kata saya dalam hati waktu itu.            Apa yang membuat saya tertarik? Atau apa motivasi saya menjadi volunteer di Eco Fun Go! Festival? Ini adalah pertanyaan klise mungkin, kalau saja diadakan wawancara dari pihak Ecofun Community. Alhamdulillah, mereka sedang menyaring mahasiswa yang tinggal di sekitaran Bogor supaya mudah untuk mengadakan rapat dan segala persiapannya, mengingat hanya punya waktu kurang dari sebulan. Dan, saya termasuk.           Tapi, sa

INAUGURASI MAXIMUSE #Magangers Batch VI Kompas Muda

     Yeah! Harus nulis lagi, berarti ada pengalaman baru lagi dari gue. Tanggal 11 Juli kemarin, MAXIMUSE atau batch gue di Kompas Muda, melaksanakan inaugurasi. Inaugurasi ini bukan pertemuan terakhir kita, hanya simbol bahwa Batch VI sudah menjadi keluarga besar Kompas! Hari yang susah buat dilupain, 11 Juli 2014. Hebohnya udah mulai dari pagi. Eh, malahan seminggu sebelumnya. Inget gak kita ribut nanya kostum apa yang mau dipake? Inget gak sehari sebelumnya kita, para perempuan bikin grup buat ngomongin catokan, hairspray, dan kawan-kawan, gara-gara gak mau ganggu kalian para laki-laki di grup MAXIMUSE? Inget gak waktu hari H kita pusing dandan di toilet, pusing mikirin pakai high heels atau flat shoes ? Inget gak para laki-laki, bingung jas dan kemeja serta dasi yang mau dipake? But, honestly, pada hari Jumat tanggal 11 Juli 2014, kita sudah tampil cantik dan ganteng kok hahaha. Hari itu, Magangers Batch V a.k.a Creafizoth udah keren banget bikin acara inaugurasi