“Jadi, belum ada sponsor yang
pasti bisa berpartisipasi di acara kita?” Arinda setengah berteriak, terdengar
menggema di ruang 11 IPA 1 yang lengang. Anak-anak sudah pulang sejak pukul
13.30 WITA tadi, sekarang waktu menunjukkan pukul 15.00 WITA. Hening sesaat. Suara
Arinda semakin naik. “Karin? Arum? Galuh? Jawab pertanyaan gue!” Pertanyaan
Arinda bertubi-tubi. Tiga orang yang disebut namanya oleh Arinda barusan, hanya
bisa menggelengkan kepala menjawab pertanyaan sang ketua ekstrakurikuler
kewirausahaan di salah satu SMA di Nusa Dua itu.
“Apa kata pembina nanti? Kalian
tahu, Pak Wayan sudah mewanti-wanti dari awal, ekskul kita ini harus usaha
lebih keras mendapatkan sponsor, dan…,” Arinda berhenti sejenak. “Acara ulang
tahun sekolah kita tinggal satu bulan lagi,” katanya melanjutkan. Matanya
berlinang air mata, tangan kanannya mengepal. Ketika hendak menjatuhkan
kepalannya ke meja di sampingnya, suara seorang cowok memanggilnya dari arah
pintu.
“Hai In! Masih kumpul nih ceritanya?
Gue ikutan ya,” sapa cowok itu, mukanya terlihat kalem. Arinda melengos melihat
kedatangan cowok tersebut. “Lo lagi, ngapain sih, Van?” Cowok yang ternyata
bernama Revan itu telah duduk di sampingnya. “Hei In, ini kan kelas gue juga, lo
gak inget sekelas sama gue? Kalian lagi bicarain apa? Serius banget.”
Arinda hendak berdiri saat Arum
berkata pelan, “Gini, Van. Ekskul kita ini lagi ada masalah. Tentang…,”
kata-kata Arum terhenti. Sebelum Arum sempat melanjutkan, Arinda sudah
buru-buru duduk lagi dan memotong. “Van, lo tuh bisa nggak sih nggak ngurusin
masalah orang? Kayaknya, dari dulu, lo suka banget ngurusin orang lain. Urusin
ekskul jurnalistik lo aja dulu.”
Air muka Revan berubah, alisnya
menyatu. “In, kenapa sih lo selalu sensi sama gue? Emang gue punya salah sama
lo? Dari kelas 10 kita sekelas, gue merasa lo itu jaga jarak sama gue. Tadi kan
Arum kan mau cerita, mungkin gue bisa bantu kalian, kan?” Tanpa disadari,
ketiga anggota Arinda yang sedari tadi diam, mengangguk cepat. Revan
melanjutkan, “Ehm, mungkin ada benarnya juga gue nggak usah tahu masalah
kalian, ketua kalian benar, kok. Tapi, kalau emang ada masalah, entah keuangan
atau koordinasi, bicarakan baik-baik. Tidak ada senioritas, jabatan itu hanya
membedakan tugas kita, bukan membedakan status. Status kita semua masih pelajar
dan teman, kan? Apalagi kalau udah menyangkut masalah bisnis, sebisa mungkin
hubungan kalian harus erat, saling mendukung. Itu penting. Bukan begitu, Ibu
Ketua?” Revan mengakhirinya dengan senyum mengembang ke arah Arinda.
Arinda menahan napas. Kenapa dia tahu masalahnya?Seandainya lo
tahu, Van, gue iri banget sama lo.
Revan mengembuskan napas, dilihatnya
Arinda tidak bersemangat mendengar nasehatnya yang malah disetujui oleh ketiga
temannya. Pandangannya lalu beralih ke ketiga temannya, tersenyum. Setelahnya, Revan
memutuskan pamit.
“Oke, guys! Biar kalian enak ngomongnya, gue tinggal dulu ya. Maaf kalau
mengganggu.” Sekali lagi, diliriknya Arinda yang masih tidak mau menatap
dirinya. Dua tahun lo kayak gini? Gue
berharap bisa ngobrol sama lo, In. Sangat berharap.
v
Ekstrakurikuler jurnalistik yang
diketuai oleh Revan mengadakan membicarakan
konsep acara setiap ekstrakurikuler di perayaan ulang tahun sekolah nanti, yang
bisa dijadikan topik di majalah mereka. Rapat selesai pukul 14.30 WITA, Revan
tidak lupa memberi semangat kepada para anggotanya, hal yang selalu
dilakukannya setiap akhir rapat.
Sekolah sudah sepi, hanya
meninggalkan para OB yang merapikan kelas-kelas. Tiba-tiba, Galuh Pratama, yang
juga anggota jurnalistik, telah duduk di samping Revan. “Van, Arinda itu
sebenarnya baik, tapi mungkin karena ekskul kewirausahaan lagi ada masalah, dia
tadi sensi.” Revan yang sedang merapikan tasnya, langsung berhenti, menoleh. Merasa
aneh dengan perkataan Galuh, Revan merubah sikap duduknya menghadap Galuh.
“Coba, lo ceritain ke gue. Ada apa sebenernya ekskul lo dan juga… Arinda?”
Belum sempat bicara, bel sekolah berbunyi 5 kali, tandanya sekolah harus sudah
kosong.
“Van! Kita harus cepat pulang. Kalau
tidak, Pak Gusti, satpam tergalak di
sekolah kita, bisa ngamuk! Ayo! Besok aja gue cerita,” teriak Galuh sambil
memeluk ranselnya. Revan hanya mengangguk kecil. Saat berjalan melewati ruang
guru, Revan dan Galuh mendengar suara seorang guru seperti sedang memarahi
seorang murid. Arinda?
“Aduh itu Arinda kenapa lagi ya
dimarahi Pak Wayan? Aduh pasti gara-gara sponsor,” kata Galuh, suaranya sedikit
gemetar. Revan bingung. Sponsor? Kenapa Pak Wayan marah? Semua semakin membuat Revan
penasaran. Cowok itu memasang telinganya dengan baik untuk mendengar
pembicaraan Pak Wayan dan Arinda.
“….bahwa Bapak sudah bilang kalau
sponsor itu tidak gampang. Sekarang bagaimana acara kalian mau sukses? Mana
janjimu, Arinda? Hotel dan resto yang katamu akan mensponsori mana? Bapak
sebagai pembina merasa belum benar mendidik kamu….” Pak Wayan terus dengan
kata-katanya, sementara air mata Arinda menetes satu demi satu. “Saya janji
akan berusaha lebih baik untuk acara terbesar ekskul kami, Pak. Mengenai hotel
dan resto, saya memang menjanjikan soal The Bay Bali, tetapi saya mendengar
bahwa kalau saya tidak kenal orang dalam, kemungkinan dapat sponsor lumayan
susah, Pak,” kata Arinda pelan, suaranya bergetar. Dada Pak Wayan yang
membusung hampir sama dengan perutnya, terlihat tidak puas dengan jawaban
Arinda. “Bapak nggak mau tahu...” Pak Wayan terus melanjutkan, sementara Revan
memutuskan pergi dari tempat itu.
In,
In. Coba lo cerita sama gue. Gue harusnya ada buat lo di saat-saat kayak gini. Revan berjalan cepat menuju
parkiran motor meninggalkan Galuh yang masih sangat khawatir dengan Arinda.
v
Hong-Xing |
“Halo,
keponakan kesayanganku. Ada apa ini tiba-tiba telpon?” Bli Nyoman menyapa
Revan. “Wah, sudah lama Revan tidak tanya kabar The Bay Bali, khususnya
Hong Xing. Bagaimana perkembangannya sekarang?” Revan tak kalah senang, sudah
lama dia tidak berkunjung ke Hong Xing. “Keadaan disini sudah luar biasa, Van.
The Bay Bali sudah lebih bagus. Kamu masih ingat, main di pantai bareng Om mu
ini? Selain Hong Xing yang sudah bagus, Benihana, Bumbu Nusantara, dan De Opera
juga nggak kalah keren, Van. Ayo main kesini lah,” kata Bli Nyoman semangat.
Setelah mendapat informasi cukup tentang perkembangan The Bay Bali, Revan
menyampaikan satu-satunya tujuan menelpon Bli Nyoman. Bli Nyoman mengangguk,
antusias dengan apa yang dikatakan keponakannya.
Satu
minggu setelah percakapan Revan dengan pamannya, seperti biasa, Jumat siang
setelah sholat Jumat, para murid mendapat waktu istirahat selama 30 menit.
Penghuni 11 IPA 1 langsung menyeruak keluar kelas, ada yang ke kantin, ke
toilet, maupun ke taman yang luasnya hampir 600 meter persegi. Revan membawa
bekalnya keluar kelas saat dilihatnya Arinda sedang duduk di bawah pohon
rambutan di taman sekolah, wajahnya murung.
“Ekhem.” Hati-hati Revan duduk di sebelah Arinda. Arinda hampir saja
meloncat kalau saja dia tidak buru-buru melihat Revan. “Aduh, Van! Jangan
ngagetin orang dong!” Revan buru-buru minta maaf. “Iya, maaf ya. Lo kenapa, In?
Lo pasti belum makan siang, kan? Nih, cobain deh.” Arinda menoleh ke arah
makanan yang ditawarkan padanya, lalu beralih ke Revan. Posisi duduk Arinda
berubah menghadap Revan. Revan menyodorkan lebih dekat, ekspresinya meyakinkan
Arinda agar mengambil segera.
“Van, ini enak banget! Asli ini, beli dimana?” Raut wajah Arinda berubah seketika, mulutnya terus mengulum kue, matanya menatap Revan. Hati Revan tiba-tiba saja lega, lega melihat Arinda tersenyum kepadanya, yang hampir tidak pernah senyum selama dua tahun sekelas dengannya. Baru saja mereka akrab akibat kue yang dibawa Revan, bel berbunyi 3 kali tanda masuk kelas. “Yah, udah masuk. Makasih ya, Van. Besok-besok bawa lagi! Yuk masuk kelas!” Arinda benar-benar terhipnotis kue Revan. Walaupun Revan kecewa karena tidak bisa ngobrol, tapi akhirnya dia tersenyum lebar atas perubahan sikap Arinda terhadapnya. “Hari yang menarik,” kata Revan dalam hati.
Bel berbunyi 4 kali tanda pulang
sekolah, semua murid menuju satu tempat yang sama, yaitu gerbang sekolah.
Tetapi, di pintu kelas, ternyata sudah berdiri anak-anak anggota jurnalistik
yang sedang membagikan majalah dua mingguan mereka. Arinda pun dapat. Dilihatnya
sampul majalah yang rapi dengan judul yang tertera ‘PERSIAPAN ACARA ULANG TAHUN
SEKOLAH’, membuat hati Arinda teringat masalah sponsor. Dibalik lagi
halamannya, halaman kedua, halaman ketiga, hingga halaman yang memuat artikel
anggota jurnalistik yang membuat Arinda tertegun. “The Bay Bali?” bisiknya. Dia
baca isinya, lengkap sekali. Tentang letaknya di BTDC Area. Lot C-0, Nusa
Dua – Bali, 80363, nomor telpon: +62 361 8948200, nomor fax : +62 361 8948180, hingga
hal paling detail tentang makanan di setiap restoran. Lagi-lagi Arinda kaget, karena
ada gambar kue yang kemarin dibawa Revan!
“Alah, paling juga temannya yang
kasih kue kemarin,” kata Arinda, dia terus melangkah. Entah pikiran apa,
akhirnya dia sampai di pantai dan duduk di sana. Arinda melihat sekelilingnya,
dia menghirup aroma pantai yang menenangkan, sampai matanya terpaku pada
bangunan yang ada di sekelilingnya. The Bay Bali. Arinda tidak sadar bahwa
dirinya telah sampai di The Bay Bali! Air muka Arinda kembali murung, dia terus
menatap The Bay Bali seakan memohon untuk memberinya sponsor barang sedikit.
Arinda belum ingin pulang saat itu, pukul 17.30 WITA.
v
Bunyi kamera Revan terdengar
beberapa kali, padahal hanya satu objek yang dia ambil, Arinda. Revan sedang
berada di Hong Xing bertemu pamannya. Saat bel pulang berbunyi, dia langsung ke
The Bay Bali. Perasaan senang, kaget, sedih, bercampur menjadi satu melihat
Arinda duduk sendirian di pantai. “Gue harus kesana, gue tahu gimana caranya
biar lo senyum lagi, In,” gumam Revan. Selain dua minuman soda, Revan tidak
lupa menggunakan ID pers ekstrakurikulernya, supaya bisa membuat alasan jika
Arinda bertanya macam-macam. Dengan langkah pasti, Revan menghampiri Arinda.
Tangannya menyodorkan minuman ke depan muka gadis itu. Arinda kaget, menoleh ke
arah Revan. “Revan?” Revan tersenyum sembari mengambil posisi duduk di sebelah
Arinda. “Kok lo disini sih?” tanya Arinda heran, dia mengambil minuman di
tangan Revan.
“Harusnya gue yang nanya kayak gitu.
Lo ngapain disini? Gue habis wawancara sama pemilik Hong Xing. Artikel kemarin
belum lengkap menurut gue,” Revan menjawab terlalu lengkap. Arinda hanya
mengangguk. “Gue… Entahlah. Tadi gue jalan dari sekolah, tiba-tiba aja udah
sampai sini. Hebat, kan?” Muka Arinda masih terlipat. “The Bay Bali gimana sih,
Van? Ceritain dong!” Arinda buka suara lagi, yang membuat jantung Revan hampir
copot. Karena tidak ingin terburu-buru, Revan punya ide lain. “In, kalau besok
pulang sekolah, lo siapin proposal sponsor, apapun yang penting untuk mengajukan
kerja sama, terus gue anterin kesini, gimana?” Revan menatap Arinda, wajahnya
terlihat semakin kalem diguyur sinar matahari yang sebentar lagi kembali ke
peraduannya. Mungkin hanya satu masalah yang terlintas di pikiran Arinda
sekarang, maka dia tersenyum, dan mengangguk cepat. “Makasih, Van. Untuk kedua
kalinya gue bilang makasih sama lo ya, hari yang sama pula.” Arinda tertawa,
membuat Revan merasa berhasil membuat mereka ngobrol, lagi. Mereka berdua
menghabiskan minuman sambil menikmati sunset, di The Bay Bali.
Sabtu siang pukul 14.00 WITA, Revan
dan Arinda sudah meluncur ke The Bay Bali setelah menyiapkan proposal
sponsorship. Tempat parker yang luas, terlihat penuh dengan kendaraan beroda
empat. Dengan mengucap basmallah, Arinda dan Revan menuju Hong Xing, salah satu
restoran di The Bay Bali. “Jangan lupa, berdoa, semoga dimudahkan Allah, In,”
bisik Revan. Arinda berdegup, perasaannya berubah tenang setelah Revan bicara.
Langkah Arinda sampai pada lantai restoran mewah itu, Hong Xing. Seperti telah
dinaskahi, para pelayan menyambut dengan senyuman paling baik yang mereka punya.
Bli Nyoman keluar dari ruangannya,
ikut menyambut tamunya. Melihat Revan bersama
tamunya itu, senyum tersungging di wajah Bli Nyoman.
“Apa saya bisa bertemu dengan pemilik
Hong Xing?” tanya Arinda. Seperti sudah hapal, Bli Nyoman menyilakan duduk
Arinda dan juga Revan. “Sekarang, ada apa, Nak? Kita kenalan dulu, nama saya
Nyoman.” Bli Nyoman masih tersenyum. “Nama saya Arinda dan maksud saya kesini
adalah…” Arinda menceritakan maksud dan tujuannya ke Hong Xing sambil
menunjukkan proposal sponsorship beserta lampirannya. Bli Nyoman mengangguk
beberapa kali, mencerna apa yang dikatakan oleh Arinda. Tanpa disadari,
kata-kata itu muncul dari mulut Bli Nyoman. “Oh, kamu yang namanya Arinda?”
Revan menjadi tidak tenang dan Arinda mengerutkan kening. Sebelum bertanya
lebih lanjut, Bli Nyoman melanjutkan, “Saya dengan senang hati membantu, Nak
Arinda. Kenapa musti takut tidak dapat sponsor di The Bay Bali? Mungkin karena
kamu minta sponsor ke Hong Xing, kami akan bantu dengan sponsor makanan untuk
peserta lomba dan panitia, bagaimana?” Wajah Bli Nyoman sangat meyakinkan,
Revan tertawa kecil melihat tingkah pamannya. “Baik, Bli Nyoman. Terima kasih banyak atas bantuannya. Pasti pembina saya
senang dengan berita ini. Kalau boleh saya jujur, saya bisa disini karena
Revan, teman saya ini meyakinkan saya kalau saya pasti bisa.” Arinda berkata
dengan sepenuh hati, senyum mengembang di wajahnya. Suasana hangat menyertai
percakapan mereka, Arinda masih terus bersyukur dalam hati.
Gue
pasti selalu bantu lo selagi gue mampu, In. Revan berhasil menyelesaikan misinya.
v
Acara kewirausahaan Arinda
yang berjalan hari Sabtu tanggal 26 April 2014 itu sangat sukses, peserta lomba dan panitia sangat bisa dikoordinir dengan baik,
semua berjalan sesuai rencana. Arinda masih sibuk mengontrol acara yang
sebentar lagi akan ditutup. “Luh, peserta sudah masuk ke lapangan dalam semua?
Yang masih makan, disuruh agak cepat, sebentar lagi mau penutupan. Thanks ya!”
Galuh mengiyakan, segera bergerak menuju prasmanan Hong-Xing yang masih
dipenuhi peserta lomba. Arinda masih bolak-balik. Lima belas menit kemudian,
semua sudah dapat kumpul di lapangan dalam, penutupan dimulai. Di koridor kiri
dan kanan, sudah siap pasukan berseragam abu-abu, membawa kamera dan note,
mereka adalah anggota jurnalistik yang siap meliput setiap kejadian yang
terjadi di sekolah. Revan mengacungkan jempol ke arah Arinda yang sudah bisa
bernapas lega karena acaranya sukses. Arinda balas mengacungkan jempolnya
Riuh suara anak-anak saat
penutupan selesai, berhamburan dari tempat duduk masing-masing, memeluk
teman-temannya, terharu. Revan menghampiri Arinda yang masih disoraki
anggota-anggotanya. “Gila emang. Ketua kita kalau bukan Inda, pasti nggak akan
sesukses ini acaranya. Hebat lo! Kita hebat!” seru Karin yang disetujui oleh
yang lain. Pipi Arinda memerah, “Kalian bisa aja deh. Maafin gue ya, yang
sebulan terakhir ini sering marah-marah, terutama anak sponsor, Karin, Galuh,
dan Arum. Kalian udah tahu sifat gue, suka duka mencari sponsor, pokoknya gue
bangga sama kalian semua!” Arinda melebarkan tangannya, mencoba memeluk para
anggotanya yang berjumlah 30 orang.
Arinda menatap Revan yang berdiri
di belakang mereka. Revan tersenyum dan berkata pelan. “Great job.” Arinda juga
berkata pelan, menjawab sambil tertawa. “Thank you.”
Setelah ngobrol asyik di ruang
panitia, akhirnya Arinda dan yang lain memutuskan pulang. Waktu menunjukkan
pukul 17.15 WITA, “Hari ini sangat
menyenangkan” batin Arinda.
Mungkin dia akan lebih bahagia
jika dia tahu sesuatu akan terjadi padanya malam ini.
v
“In, ada kiriman! Kayaknya buat kamu
deh, ada nama kamu soalnya,” kata ibu dari lantai bawah. Arinda baru saja
selesai mandi dan berbaring di kasur, terdengar panggilan ibunya dari bawah.
Kiriman? Arinda bergegas ke bawah, mendapati kotak berwarna merah muda dihiasi
pita ungu, tertera namanya di atas pita tersebut, sangat lucu. “Dari siapa ya?”
Arinda membuka pelan kotak merah muda tersebut pelan. Saat dibuka, ada sebuah
surat dan beberapa foto dirinya. “Apa ini? Kenapa ada foto gue?” Arinda
melanjutkan membongkar. Dilihatnya foto-foto itu, foto dirinya saat berada di
pantai The Bay Bali. “Foto gue disana? Kan nggak ada siapa-siapa waktu itu,
kecuali….!” Terbersit satu nama di benak Arinda, buru-buru dia buka suratnya,
dan benar saja.
“In,
selamat ya, acara lo sukses besar! Itu karena lo nggak pernah mau menyerah di
tengah jalan. I am proud of you, In. Hampir dua tahun sekelas, ya? Tapi, gue
baru merasa kita sekelas, satu bulan terkahir ini. Jangan marah dulu. Gue
seneng banget akhirnya lo terbuka sama gue, semoga sampai nanti terus begitu,
ya. By the way, foto lo di pantai itu, nggak sengaja haha. Habis wawancara
pemilik Hong-Xing, lihat lo di pantai, lucu juga kalau dilihat. Oh iya, malam
ini gue tunggu jam 8 di Hong Xing, ya. See you! –Rev-
“Van, andai lo tahu, gue nggak
pernah berani ngobrol sama lo dari dulu. Gue harus jujur malam ini,harus!”
Arinda lari ke kamar, mengambil gaun berwarna toska, dandan seadanya, lalu
pamit kepada ibunya. “Wah, 20.30. Semoga bisa sampai sana tepat waktu,” kata
Arinda, langkahnya semakin cepat. Jarak rumahnya dengan The Bay Bali tidak
terlalu jauh jika ditempuh dengan mobil, tetapi sepertinya angkutan umum sudah
tidak ada yang lewat malam itu. Akhirnya, gadis itu jalan kaki, hingga
sampailah di Hong Xing. Napasnya terengah-engah. “In!” Suara Revan terdengar
dari meja paling pojok sebelah kanan Arinda. Dilihatnya Revan yang berkemeja
biru muda yang dipadu dengan celana bahan dan sepatu hitam, elegan. Arinda
menghampiri Revan, duduk tepat di depan Revan.
Revan memperhatikan Arinda, wajahnya
terlihat sedih. “In, lo kenapa? Nggak suka ya kotak dari gue? Atau foto lo
jelek? Maaf deh kalau gitu.” Terdengar kekhawatiran di nada suara Revan. “Eh,
nggak kok. Fotonya bagus, Van, makasih. Gue cuma mau ngomong aja, penting,”
Arinda menjawab, masih dengan air muka sedih. Revan diam, membiarkan Arinda
melanjutkan. Pelayan mengantarkan minuman pesanan Revan.
“Tentang surat yang tadi. Gue mau
minta maaf, kalau selama ini, gue nggak pernah ramah sama lo, jarang senyum
sama lo, bahkan ngobrol pun termasuk langka. Gue punya alasan, Van. Sebenernya,
gue iri sama lo, iri karena lo ngerti bisnis, selalu bisa memberi motivasi sama
orang lain, pokoknya lo itu orang hebat. Apalagi setelah gue menjadi ketua
ekskul, gue merasa harus bisa mengayomi anggota-anggota gue, gue harus bisa
seperti lo, Van. Tapi, gue sadar, setiap orang itu berbeda. Setelah acara gue
berjalan sukses, gue baru merasakan bahwa menjadi diri sendiri itu lebih
hebat.” Arinda mengakhiri pengakuannya dengan menatap Revan, tersenyum tipis.
Hening sesaat. Revan masih duduk
dalam diam, sampai beberapa menit setelahnya, terdengar suara gaduh di belakang
Arinda. “DORRRRR!” Karin, Galuh, Arum, anggota kewirausahaan, juga anggota
jurnalistik lainnya sudah berderet di depan Arinda. “Kalian? Kok ada disini?
Van, mereka ada disini juga? Kenapa nggak kasihtau?” Arinda sedikit panik,
berdoa supaya pengakuannya tadi tidak terdengar oleh teman-temannya. Tapi,
terlambat.
“Ada yang baru bikin pengakuan nih
kayaknya,” celetuk Hari, anggota jurnalistik. Arinda salah tingkah, buru-buru
dia mengalihkan topik. “Kalian…” Belum sempat melanjutkan, Revan ambil alih.
“Mereka datang kesini karena
mereka mau kasih kejutan buat lo, In. Nih, bukti kalau menjadi diri sendiri itu
lebih hebat, kan? Banyak yang bisa lo kembangin dari dalam diri lo sendiri.”
Arinda hanya bisa tersenyum, air matanya sudah tidak sabar ingin turun.
Tiba-tiba saja, Bli Nyoman sudah
berada di belakang Arinda, gadis itu kaget saat Bli Nyoman bicara. “Nak Arinda, benar itu yang dikatakan keponakan
saya.” Keponakan? “Iya, beliau ini paman gue,” kata Revan seperti bisa membaca
pikiran Arinda. Air matanya kini telah turun, cukup untuk membasahi kedua
pipinya.
“Revan, lo tuh! Makasih ya, Revan
dan Bli Nyoman. Bantuan kalian sangat
berarti! I owe you, Van, Bli,” kata Arinda, matanya masih
berkaca-kaca. Bli Nyoman menyuruh mereka pesan makanan, malam itu adalah salah
satu malam terindah bagi Arinda, juga Revan. Hanya satu yang kurang.
Andai
lo tahu, pengakuan lo tadi itu sudah lebih dari cukup, In. Jadi, selama ini lo
menjauh dari gue gara-gara itu, kenapa? Lo harus tahu, gue kagum sama lo dari
kelas 10. Melihat perjuangan untuk memenuhi semua target lo, kita sama, bukan?
Mungkin lebih baik gue simpan semua pertanyaan gue ini. Semoga senyum lo selalu
ada setiap hari buat gue, In.
The Bay Bali menjadi tempat terindah malam itu. Sabtu, 26 April 2014.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
www.thebaybali.com
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
www.thebaybali.com
Komentar
Posting Komentar